JAKARTA (Lampost): Pendidikan nonformal dapat mengatasi masalah pengangguran di Indonesia. Sebab, bidang tersebut dapat mengajarkan keterampilan generasi muda sesuai dengan kebutuhan pasar.
Demikian disampaikan Nyonya Ani Yudhoyono saat membuka Rapat Kerja Nasional Himpunan Seluruh Pendidik dan Penguji Indonesia Pendidikan Non-Formal (Hisppi PNF) di Istana Negara Jakarta, Jumat (29-2).
Ia mengatakan banyak lulusan dari lembaga pendidikan formal yang masih menganggur sebagai bukti adanya kesenjangan antara kualitas lulusan dan kualifikasi kebutuhan pekerja.
Oleh sebab itu, perlu peningkatan kualitas tenaga pendidikan nonformal agar lulusan pendidikan nonformal makin andal. "Dengan peningkatan mutu, kualitas pendidikan dan sertifikasi profesi sehingga di masa depan pendidikan nonformal dapat bersaing," ujar Ibu Negara.
Pada kesempatan itu Ibu Ani juga mengajak seluruh pendidik dan penguji pendidikan nonformal turut mendukung Program Indonesia Pintar.
Program ini terdiri atas mobil pintar, sepeda motor pintar, rumah pintar, dan bahkan kapal pintar yang tersedia di sejumlah bagian wilayah Indonesia.
Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo mengatakan pendidikan nonformal adalah solusi bagi anak-anak di seluruh Indonesia yang secara geografis dan sosiologis tidak terjangkau pendidikan formal. "Misal anak-anak di lokasi yang tidak terjangkau secara geografis atau tidak mampu secara ekonomi, bahkan ketika pendidikan telah digratiskan."
Pendidikan formal terdiri dari empat jenis, yaitu program pendidikan usia dini selain TK, pemberantasan buta aksara, program paket A untuk setara SD, paket B untuk setara SMP dan paket C untuk setara SMA serta pendidikan kecakapan hidup.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Hisppi PNF Nasrullah Yusuf mengatakan rapat kerja nasional itu digelar 28 Februari hingga 1 Maret dan diikuti 300 orang. Hisppi PNF dibentuk pada 1986 dan beranggotakan 113 ribu orang dari seluruh Indonesia.
Rabu, 27 Mei 2009
Dewan Anggap Home Schooling Liar
Senin, 24 September 2007
TEMPO Interaktif, Jakarta:Anggota Komisi Pendidikan dari Fraksi Partai Amanat Nasional DPR Munawar Soleh menganggap pendidikan sekolah rumah / home schooling liar.
"Mereka itu mau kemana, tujuannya apa tidak jelas," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Menteri Pendidikan Nasional, Senin.
Ia menyarankan perlunya pengawasan terhadap praktek pendidikan model ini, karena dianggap sudah keluar jalur dan tidak mengindahkan peraturan.
Sudigdo Adi dari Fraksi PDI-P menyatakan dalam sekolah rumah tidak ada kurikulum yang mengajarkan tentang kebangsaan dan kewarganegaraan. "Indonesia mau jadi apa? Pendidikan pada dasarnya harus menjaga kelangsungan bangsa. Tapi sekolah rumah malah membuat ciri Indonesia hilang," jelasnya.
Pendidikan sekolah rumah, tambahnya, mendidik anak menjadi individualis. Pendidikan ini tidak boleh dibiarkan berkembang tanpa aturan. "Harus ada peraturan yang membatasi," katanya.
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menyatakan sekolah rumah bukan pendidikan nonformal, tapi pendidikan informal. Artinya, untuk mencapai kesetaraan, peserta didik harus mengkuti ujian persamaan. "Ada paket A, paket B dan paket C, tergantung tingkatan pendidikan," katanya.
Reh Atemalem Susanti
TEMPO Interaktif, Jakarta:Anggota Komisi Pendidikan dari Fraksi Partai Amanat Nasional DPR Munawar Soleh menganggap pendidikan sekolah rumah / home schooling liar.
"Mereka itu mau kemana, tujuannya apa tidak jelas," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Menteri Pendidikan Nasional, Senin.
Ia menyarankan perlunya pengawasan terhadap praktek pendidikan model ini, karena dianggap sudah keluar jalur dan tidak mengindahkan peraturan.
Sudigdo Adi dari Fraksi PDI-P menyatakan dalam sekolah rumah tidak ada kurikulum yang mengajarkan tentang kebangsaan dan kewarganegaraan. "Indonesia mau jadi apa? Pendidikan pada dasarnya harus menjaga kelangsungan bangsa. Tapi sekolah rumah malah membuat ciri Indonesia hilang," jelasnya.
Pendidikan sekolah rumah, tambahnya, mendidik anak menjadi individualis. Pendidikan ini tidak boleh dibiarkan berkembang tanpa aturan. "Harus ada peraturan yang membatasi," katanya.
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menyatakan sekolah rumah bukan pendidikan nonformal, tapi pendidikan informal. Artinya, untuk mencapai kesetaraan, peserta didik harus mengkuti ujian persamaan. "Ada paket A, paket B dan paket C, tergantung tingkatan pendidikan," katanya.
Reh Atemalem Susanti
CITRA SEKOLAH KEJURUAN DAN MAN SEBAGAI SEKOLAH KELAS DUA
Oleh: Marjohan
Guru SMA Negeri 3 Batusangka
Adalah fenomena bahwa pendidikan atau sekolah itu sudah terkotak- kotak di Indonesia dan dimana-mana di atas dunia ini. Untuk Indonesia ada sekolah agama dan ada sekolah umum, orang yang taat menyebutnya dengan sekolah sekuler. Ada sekolah swasta dan ada sekolah negeri. Kemudian secara vertikal ada Sekolah Dasar (SD), SMP, STLA dan perguruan tinggi. Untuk tingkat SLTA ada namanya SMA, MA dan SMK.
SMA jumlah sangat banyak dan terlihat serba diperhatikan alias dianak emaskan oleh masyarakat, pemerintah dan malah juga oleh media massa. Event- event yang ada di SMA dikupas tuntas dan disebarluaskan, kemudian berita- berita tentang MAN dan SMK porsi nya tidak berimbang dibandingkan SMA. Secara konvensional orang mengatakan bahwa anak- anak yang belajar pada MAN kelak bisa menjadi anak surga (baca: generasi yang taat) dan dulu ketika STM belum lagi dikenal dengan sebutan SMK, dikenalkan sebagai sekolah yang murid- muridnya suka berkelahi massal atau tawuran.
Pemerintah tampaknya menjadikan SMA sebagai "anak emas" dan agar lulusannya bisa berkualitas maka pemerintah (dan juga tokoh politik di DPR) menyelenggarakan berbagai kegiatan dan program yang jauh lebih intensive dan sampai mematok standar kelulusan SMA. Karena hanya dari SMA lah kelak lahir dan bermunculan pemimpin bangsa, tokoh intelektual dan orang- orang hebat. Kemudian mengapa kualitas SMK dan MAN tidak begitu banyak disorot, digubris, dicikaraui apakah tak mungkin akan lahir pemimpin bangsa dan orang orang hebat dari kedua institusi pendidikan ini (?).
Dunia pendidikan atau dunia sekolah itu ibarat anak kecil, itu karena di sana merupakan tempat kedua terjadinya proses sosialisasi bagi anak-anak (anak didik) setelah rumah mereka. Anak- anak yang memperoleh cukup perhatian, banyak pengalaman dan kaya rangsangan atau stimulus secara kognitif, psikomotorik dan afektif akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. sementara anak yang merasa kurang diperhatikan dan kurang pula dalam memperoleh stimulus dan kesempatan untuk bereksperimen, cenderung mempunyai karakter "withdrawal" atau suka menarik diri, mengalami perasaan inferior complex atau rendah diri.
Masyarakat dan pemerintah adalah ibarat orang tua bagi dunia pendidikan. Sebut saja anak mereka yang berusia remaja bernama "SMK, MAN dan SMA'. Dewasa ini perhatian pemerintah menurut kacamata orang awam, perhatian mereka terhadap pendidikan siswa SMA sungguh banyak porsinya. Bila ada prestasi yang diukir oleh siswa SMA maka publikasinya terasa sangat menggema sampai ke mana- mana sementara publikasi tentang kegiatan yang ada pada SMK dan Man cenderung sepi atau biasa- biasa saja.
Anggaplah pemerintah cukup bersikap adil (dan memang pemerintah sudah adil dalam memberikan kebijakan terhadap pendidikan di SMA, SMA dan SMK), namun sekarang tinggal lagi perlakuan masyarakat (?).
Adalah fenomena dalam masyarakat, bahwa SMA adalah sekolah bagi anak- anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masukan anak ke MAN agar ia bisa menjadi orang taat dan SMA adalah sekolah sekuler. Kemudian pilihlah SMK kalau orangtua tidak mampu secara finansial, dan biar lah anak belajar di sana agar kelak cepat memperoleh kerja - menjadi pekerja, menjadi buruh atau menjadi TKI (?).
Dalam setting pada mulanya, keberadaan SMA, SMK dan MAN adalah sama dan cukup bagus. Namun dalam pelaksanaan dalam masyarakat terlihat kecendrungan bahwa kalau orang tua punya anak yang cerdas atau ingin punya anak cerdas maka mereka harus mengirim (dan mencarikan SMA) yang berbobot untuk mendidik mereka, agar kelak bisa tumbuh jadi orang terpandang. Apa saja persyaratan yang diminta oleh komite sekolah (di SMA) terhadap orang tua, maka hampir seratus persen akan dipenuhi. Sementara itu bila anak kalah dalam seleksi otak, atau anak orang tuanya kalah seleksi secara finansial atau keuangan maka mereka diultimatum, direkomendasikan atau sangat dianjurkan agar memilih SMK saja. Maka jadilah SMK ini sebagai tempat bersekolahnya anak- anak dengan mental inferior complex, berasal dari orang tua dengan ekonomi lemah dan anak- anak yang kualitas otaknya kurang beruntung.
Adalah fenomena umum bahwa kualitas pendidikan sekolah agama itu dipandang lebih rendah dari sekolah umum. Citra ini diciptakan sendiri oleh anak didik dan masyarakat. Tengoklah eksistensi ini pada banyak sekolah. Anak- anak pintar yang belajar di sana semuanya bermimpi agar bisa kuliah kelak pada universitas favorite yang berada di pulau Jawa atau kalau perlu langsung di universitas luar negeri. Kalau gagal maka tahun depan (atau sudah pasang ancang- ancang) untuk memilih universitas ngetop di provinsi mereka. Bila gagal atau merasa kemampuan otak lemah maka dengan rasa enteng mereka memilih perguruan tinggi Islam, dan pada akhirnya berkumpulah orang orang yang kultur dan percaya diri nya rendah belajar di perguruan tinggi ini.
Kemudian juga menjadi fenomena bahwa dalam rekruitmen tenaga pendidik, maka orang yang merasa pintar cenderung memilih sebagai guru SMA, kemudian sisanya bagi yang merasa diri bersahaja atau takut kalah dalam persaingan , mereka memilih untuk menjadi tenaga pengajar pada MAN.
Dalam fakta bahwa cukup banyak guru berkualitas dan bermutu yang hadir sebagai tenaga pendidik di MAN dan SMK. Namun kenapa kedua sekolah ini tidak menggeliat dalam hal mutu secara umum(?). keberadaan tenaga pendidik agaknya tidak lah menjadi masalah karena mereka bersal dari perguruan tinggi yang sama dengan rekan- rekan mereka di SMA. Yang menjadi masalah adalah sikap anak didik yang belajar di sana, sebagai produk sosialisasi dari rumah mereka, yang terbentuk dari lingkungan rumah untuk menjadi orang yang serba bersahaja, sikap fatalistic atau pasrah dan ini adalah menjadi tugas bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyembuhkan gejala inferior complex mereka.
Kalau sekolah MAN dan SMK merasa sebagai sekolah kelas dua, gara- gara citra yang telah dibentuk oleh masyarakat, pemerintah, aktor politik dan pemberitaan media massa . Maka untuk mengembalikan harga diri atau citra mereka, tentu menjadi tanggung jawab masyarakat, pemerintah, aktor politik dan media massa pula.
Masyarakat tentu perlu juga untuk memberikan perhatian dan partisipasi dalam membesarkan dan menumbuhkan harga diri kedua sekolah ini. Adalah juga tepat bila orang tua memiliki anak cerdas dan super cerdas menyuruh mereka untuk belajar di sini dan kemudian ikut mendukung program pengembangan mutu pendidikan. Pemerintah dan aktor politik juga harus adil. Bila mereka berdebat tentang kualitas pendidikan di SMA- seperti membahas angka kelulusan SMA, maka coba pulalah untuk berdebat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah MAN dan SMK. Kemudian media masa juga harus berimbang dalam pemberitaan, janganlah hanya rajin mencari berita yang serba bagus ke SMA, tapi ia juga perlu bekerja intensive untuk meliput pendidikan pada MAN dan SMK. Media Massa hanya rajin meliput .Pendidikan MAN (agama) seputar bulan puasa Cuma.
Namun sebagai orang yang mau dewasa, maka Man dan SMK juga tidak boleh menyalahkan pihak lain- masyarakat, pemerintah, aktor politik dan orang tua atau masyarakat sebagai sumber masalah, menjadikan kedua sekolah ini sebagai sekolah kelas dua. Dalam pelajaran agama kita diberitahu bahwa "Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (nasib kita), kecuali kita sendiri yang mengubah nasib ini". Maka MAN dan SMK bisa dan harus menjadi sekolah kelas satu (first class), usahanya harus dilakukan oleh segenap personalia di sekolah ini- guru, murid, orang tua dan lingkungan.
Sekolah ini perlu melakukan publikasi , melakukan lomba yang eventnya dikemas seapik mungkin dan dipublikasikan. Untuk SMA biasanya ada lomba English speech contest, maka siswa MAN juga harus menggelar Arabic Speech contest, dan setting suasana menjadi moderen. SMK mungkin bisa melakukan robot creative contest. Atau perlombaan kreativitas lain. Kemudian kedua sekolah ini coba menumbuhkan prilaku yang smart (walau cukup banyak prilaku yang sama terjadi pada beberapa SMA), mengembangkan sikap intelektual, sikap kritis, menjauhi sikap kekanak- kanakan. Mengembangakan program kepintaran berganda anatara IQ, SQ dan EQ. pintar dengan angka- angka, pintar olah raga, pintar berpidato, pintar mengelola waktu, menguasai bahasa asing, komputer dan internet dan mantap nilai keimanan. Pendek kata berimbang anatara IPTEK dan IMTAQ (ilmu pengetahuan dan tekhnologi- serta iman dan taqwa).
Guru SMA Negeri 3 Batusangka
Adalah fenomena bahwa pendidikan atau sekolah itu sudah terkotak- kotak di Indonesia dan dimana-mana di atas dunia ini. Untuk Indonesia ada sekolah agama dan ada sekolah umum, orang yang taat menyebutnya dengan sekolah sekuler. Ada sekolah swasta dan ada sekolah negeri. Kemudian secara vertikal ada Sekolah Dasar (SD), SMP, STLA dan perguruan tinggi. Untuk tingkat SLTA ada namanya SMA, MA dan SMK.
SMA jumlah sangat banyak dan terlihat serba diperhatikan alias dianak emaskan oleh masyarakat, pemerintah dan malah juga oleh media massa. Event- event yang ada di SMA dikupas tuntas dan disebarluaskan, kemudian berita- berita tentang MAN dan SMK porsi nya tidak berimbang dibandingkan SMA. Secara konvensional orang mengatakan bahwa anak- anak yang belajar pada MAN kelak bisa menjadi anak surga (baca: generasi yang taat) dan dulu ketika STM belum lagi dikenal dengan sebutan SMK, dikenalkan sebagai sekolah yang murid- muridnya suka berkelahi massal atau tawuran.
Pemerintah tampaknya menjadikan SMA sebagai "anak emas" dan agar lulusannya bisa berkualitas maka pemerintah (dan juga tokoh politik di DPR) menyelenggarakan berbagai kegiatan dan program yang jauh lebih intensive dan sampai mematok standar kelulusan SMA. Karena hanya dari SMA lah kelak lahir dan bermunculan pemimpin bangsa, tokoh intelektual dan orang- orang hebat. Kemudian mengapa kualitas SMK dan MAN tidak begitu banyak disorot, digubris, dicikaraui apakah tak mungkin akan lahir pemimpin bangsa dan orang orang hebat dari kedua institusi pendidikan ini (?).
Dunia pendidikan atau dunia sekolah itu ibarat anak kecil, itu karena di sana merupakan tempat kedua terjadinya proses sosialisasi bagi anak-anak (anak didik) setelah rumah mereka. Anak- anak yang memperoleh cukup perhatian, banyak pengalaman dan kaya rangsangan atau stimulus secara kognitif, psikomotorik dan afektif akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. sementara anak yang merasa kurang diperhatikan dan kurang pula dalam memperoleh stimulus dan kesempatan untuk bereksperimen, cenderung mempunyai karakter "withdrawal" atau suka menarik diri, mengalami perasaan inferior complex atau rendah diri.
Masyarakat dan pemerintah adalah ibarat orang tua bagi dunia pendidikan. Sebut saja anak mereka yang berusia remaja bernama "SMK, MAN dan SMA'. Dewasa ini perhatian pemerintah menurut kacamata orang awam, perhatian mereka terhadap pendidikan siswa SMA sungguh banyak porsinya. Bila ada prestasi yang diukir oleh siswa SMA maka publikasinya terasa sangat menggema sampai ke mana- mana sementara publikasi tentang kegiatan yang ada pada SMK dan Man cenderung sepi atau biasa- biasa saja.
Anggaplah pemerintah cukup bersikap adil (dan memang pemerintah sudah adil dalam memberikan kebijakan terhadap pendidikan di SMA, SMA dan SMK), namun sekarang tinggal lagi perlakuan masyarakat (?).
Adalah fenomena dalam masyarakat, bahwa SMA adalah sekolah bagi anak- anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masukan anak ke MAN agar ia bisa menjadi orang taat dan SMA adalah sekolah sekuler. Kemudian pilihlah SMK kalau orangtua tidak mampu secara finansial, dan biar lah anak belajar di sana agar kelak cepat memperoleh kerja - menjadi pekerja, menjadi buruh atau menjadi TKI (?).
Dalam setting pada mulanya, keberadaan SMA, SMK dan MAN adalah sama dan cukup bagus. Namun dalam pelaksanaan dalam masyarakat terlihat kecendrungan bahwa kalau orang tua punya anak yang cerdas atau ingin punya anak cerdas maka mereka harus mengirim (dan mencarikan SMA) yang berbobot untuk mendidik mereka, agar kelak bisa tumbuh jadi orang terpandang. Apa saja persyaratan yang diminta oleh komite sekolah (di SMA) terhadap orang tua, maka hampir seratus persen akan dipenuhi. Sementara itu bila anak kalah dalam seleksi otak, atau anak orang tuanya kalah seleksi secara finansial atau keuangan maka mereka diultimatum, direkomendasikan atau sangat dianjurkan agar memilih SMK saja. Maka jadilah SMK ini sebagai tempat bersekolahnya anak- anak dengan mental inferior complex, berasal dari orang tua dengan ekonomi lemah dan anak- anak yang kualitas otaknya kurang beruntung.
Adalah fenomena umum bahwa kualitas pendidikan sekolah agama itu dipandang lebih rendah dari sekolah umum. Citra ini diciptakan sendiri oleh anak didik dan masyarakat. Tengoklah eksistensi ini pada banyak sekolah. Anak- anak pintar yang belajar di sana semuanya bermimpi agar bisa kuliah kelak pada universitas favorite yang berada di pulau Jawa atau kalau perlu langsung di universitas luar negeri. Kalau gagal maka tahun depan (atau sudah pasang ancang- ancang) untuk memilih universitas ngetop di provinsi mereka. Bila gagal atau merasa kemampuan otak lemah maka dengan rasa enteng mereka memilih perguruan tinggi Islam, dan pada akhirnya berkumpulah orang orang yang kultur dan percaya diri nya rendah belajar di perguruan tinggi ini.
Kemudian juga menjadi fenomena bahwa dalam rekruitmen tenaga pendidik, maka orang yang merasa pintar cenderung memilih sebagai guru SMA, kemudian sisanya bagi yang merasa diri bersahaja atau takut kalah dalam persaingan , mereka memilih untuk menjadi tenaga pengajar pada MAN.
Dalam fakta bahwa cukup banyak guru berkualitas dan bermutu yang hadir sebagai tenaga pendidik di MAN dan SMK. Namun kenapa kedua sekolah ini tidak menggeliat dalam hal mutu secara umum(?). keberadaan tenaga pendidik agaknya tidak lah menjadi masalah karena mereka bersal dari perguruan tinggi yang sama dengan rekan- rekan mereka di SMA. Yang menjadi masalah adalah sikap anak didik yang belajar di sana, sebagai produk sosialisasi dari rumah mereka, yang terbentuk dari lingkungan rumah untuk menjadi orang yang serba bersahaja, sikap fatalistic atau pasrah dan ini adalah menjadi tugas bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyembuhkan gejala inferior complex mereka.
Kalau sekolah MAN dan SMK merasa sebagai sekolah kelas dua, gara- gara citra yang telah dibentuk oleh masyarakat, pemerintah, aktor politik dan pemberitaan media massa . Maka untuk mengembalikan harga diri atau citra mereka, tentu menjadi tanggung jawab masyarakat, pemerintah, aktor politik dan media massa pula.
Masyarakat tentu perlu juga untuk memberikan perhatian dan partisipasi dalam membesarkan dan menumbuhkan harga diri kedua sekolah ini. Adalah juga tepat bila orang tua memiliki anak cerdas dan super cerdas menyuruh mereka untuk belajar di sini dan kemudian ikut mendukung program pengembangan mutu pendidikan. Pemerintah dan aktor politik juga harus adil. Bila mereka berdebat tentang kualitas pendidikan di SMA- seperti membahas angka kelulusan SMA, maka coba pulalah untuk berdebat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah MAN dan SMK. Kemudian media masa juga harus berimbang dalam pemberitaan, janganlah hanya rajin mencari berita yang serba bagus ke SMA, tapi ia juga perlu bekerja intensive untuk meliput pendidikan pada MAN dan SMK. Media Massa hanya rajin meliput .Pendidikan MAN (agama) seputar bulan puasa Cuma.
Namun sebagai orang yang mau dewasa, maka Man dan SMK juga tidak boleh menyalahkan pihak lain- masyarakat, pemerintah, aktor politik dan orang tua atau masyarakat sebagai sumber masalah, menjadikan kedua sekolah ini sebagai sekolah kelas dua. Dalam pelajaran agama kita diberitahu bahwa "Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (nasib kita), kecuali kita sendiri yang mengubah nasib ini". Maka MAN dan SMK bisa dan harus menjadi sekolah kelas satu (first class), usahanya harus dilakukan oleh segenap personalia di sekolah ini- guru, murid, orang tua dan lingkungan.
Sekolah ini perlu melakukan publikasi , melakukan lomba yang eventnya dikemas seapik mungkin dan dipublikasikan. Untuk SMA biasanya ada lomba English speech contest, maka siswa MAN juga harus menggelar Arabic Speech contest, dan setting suasana menjadi moderen. SMK mungkin bisa melakukan robot creative contest. Atau perlombaan kreativitas lain. Kemudian kedua sekolah ini coba menumbuhkan prilaku yang smart (walau cukup banyak prilaku yang sama terjadi pada beberapa SMA), mengembangkan sikap intelektual, sikap kritis, menjauhi sikap kekanak- kanakan. Mengembangakan program kepintaran berganda anatara IQ, SQ dan EQ. pintar dengan angka- angka, pintar olah raga, pintar berpidato, pintar mengelola waktu, menguasai bahasa asing, komputer dan internet dan mantap nilai keimanan. Pendek kata berimbang anatara IPTEK dan IMTAQ (ilmu pengetahuan dan tekhnologi- serta iman dan taqwa).
PENDIDIKAN MENENGAH: RSBI Mulai Terima Siswa Baru
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) mulai menerima siswa baru, di antaranya SMAN 2 dan SMAN 9 Bandar Lampung.
Kepala SMAN 2 Bandar Lampung Sudarto mengatakan RSBI yang selama ini dilakukan by class menjadi by subject. Artinya, kalau selama dua tahun hanya membuka dua kelas untuk kelas RSBI, tahun ini semua siswa kelas X harus RSBI. Oleh sebab itu, tahun ini SMAN 2 menerima 288 siswa baru RSBI.
"Tahun ini kami membuka tujuh kelas, setiap kelas maksimal 32 siswa," kata Sudarto pada sosialisasi PSB RSBI SMAN 2 di ruang perpustakaan, Sabtu (4-4). Sosialisasi ini juga dihadiri Kabid Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung Ahmad dan Koordinator SMA RSBI Lampung Supanto, belasan guru dari SMP/MTs yang berpredikat sekolah standar nasional (SSN) dan RSBI, seperti SMPN 1, SMPN 2, SMPN 21, dan SMP Xaverius IV.
Menurut Sudarto, RSBI sama dengan SSN plus karena sistem pendidikan mengacu pada salah satu dari 33 negara yang tergabung dalam OECD, khusus menangani sekolah-sekolah internaasional di dunia. Selain itu, sekolah RSBI harus melakukan penguatan dan pengayaan potensi dan keunggulan sekolah.
Koordinator SMA RSBI Lampung Supanto mengatakan di Lampung ada lima sekolah status RSBI, yaitu SMAN 2 Bandar Lampung, SMAN 9 Bandar Lampung, SMAN 1 Metro, SMAN Kotagajah, dan SMAN 1 Gading Rejo. Sistem penerimaan siswa baru di lima sekolah ini sama. PSB RSBI dilakukan dua jalur, yaitu jalur prestasi dan jalur tes akademik.
Persyaratan jalur prestasi cukup ketat. Peserta harus memiliki prestasi juara I--III di bidang olimpiade sains atau kompetensi mata pelajaran Bahasa Inggris yang dilaksanakan instansi pemerintah, baik tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional. Selain itu, nilai rapor semester I--V untuk setiap mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, IPA, dan IPS minimal 70.
"Siswa jalur prestasi ini masuk tanpa tes, apabila dinyatakan lulus berkas, cukup mengikuti tes wawancara saja," kata Supanto.
Sedangkan syarat mengikuti jalur tes akademik, peserta harus memiliki nilai rata-rata untuk setiap mata pelajaran; Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dan IPS, minimal 70. Apabila dinyatakan lulus pemberkasan, peserta mengikuti tes kemampuan akademik, tes kemampuan Bahasa Inggris (listening, reading, speaking, dan writing), dan tes wawancara.
Untuk pendaftaran RSBI SMAN 2 sendiri dimulai pada 6--18 April, seleksi berkas pada 20--30 April, Pengumuman seleksi berkas 01 Mei, Pengambilan nomor tes 13--14 Mei, Tes akademik 15 Mei, Tes kemampuan Bahasa Inggris 16--18 Mei. Tes wawancara bagi peserta jalur prestasi pada 7 Mei dan pengumuman pada 12 Mei. Sedangkan tes wawancara bagi peserta jalur tes pada 22--23 Mei, pengumuman 1 Juni.
"Bagi peserta yang tidak lulus jalur prestasi bisa mengikuti jalur tes dengan lebih dahulu melaporkan kepada panitia," kata Supanto.
Kepala SMAN 2 Bandar Lampung Sudarto mengatakan RSBI yang selama ini dilakukan by class menjadi by subject. Artinya, kalau selama dua tahun hanya membuka dua kelas untuk kelas RSBI, tahun ini semua siswa kelas X harus RSBI. Oleh sebab itu, tahun ini SMAN 2 menerima 288 siswa baru RSBI.
"Tahun ini kami membuka tujuh kelas, setiap kelas maksimal 32 siswa," kata Sudarto pada sosialisasi PSB RSBI SMAN 2 di ruang perpustakaan, Sabtu (4-4). Sosialisasi ini juga dihadiri Kabid Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung Ahmad dan Koordinator SMA RSBI Lampung Supanto, belasan guru dari SMP/MTs yang berpredikat sekolah standar nasional (SSN) dan RSBI, seperti SMPN 1, SMPN 2, SMPN 21, dan SMP Xaverius IV.
Menurut Sudarto, RSBI sama dengan SSN plus karena sistem pendidikan mengacu pada salah satu dari 33 negara yang tergabung dalam OECD, khusus menangani sekolah-sekolah internaasional di dunia. Selain itu, sekolah RSBI harus melakukan penguatan dan pengayaan potensi dan keunggulan sekolah.
Koordinator SMA RSBI Lampung Supanto mengatakan di Lampung ada lima sekolah status RSBI, yaitu SMAN 2 Bandar Lampung, SMAN 9 Bandar Lampung, SMAN 1 Metro, SMAN Kotagajah, dan SMAN 1 Gading Rejo. Sistem penerimaan siswa baru di lima sekolah ini sama. PSB RSBI dilakukan dua jalur, yaitu jalur prestasi dan jalur tes akademik.
Persyaratan jalur prestasi cukup ketat. Peserta harus memiliki prestasi juara I--III di bidang olimpiade sains atau kompetensi mata pelajaran Bahasa Inggris yang dilaksanakan instansi pemerintah, baik tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional. Selain itu, nilai rapor semester I--V untuk setiap mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, IPA, dan IPS minimal 70.
"Siswa jalur prestasi ini masuk tanpa tes, apabila dinyatakan lulus berkas, cukup mengikuti tes wawancara saja," kata Supanto.
Sedangkan syarat mengikuti jalur tes akademik, peserta harus memiliki nilai rata-rata untuk setiap mata pelajaran; Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dan IPS, minimal 70. Apabila dinyatakan lulus pemberkasan, peserta mengikuti tes kemampuan akademik, tes kemampuan Bahasa Inggris (listening, reading, speaking, dan writing), dan tes wawancara.
Untuk pendaftaran RSBI SMAN 2 sendiri dimulai pada 6--18 April, seleksi berkas pada 20--30 April, Pengumuman seleksi berkas 01 Mei, Pengambilan nomor tes 13--14 Mei, Tes akademik 15 Mei, Tes kemampuan Bahasa Inggris 16--18 Mei. Tes wawancara bagi peserta jalur prestasi pada 7 Mei dan pengumuman pada 12 Mei. Sedangkan tes wawancara bagi peserta jalur tes pada 22--23 Mei, pengumuman 1 Juni.
"Bagi peserta yang tidak lulus jalur prestasi bisa mengikuti jalur tes dengan lebih dahulu melaporkan kepada panitia," kata Supanto.
Madrasah, Pendidikan Sebelah Mata
Mendengar kata Madrasah, masyarakat biasanya mengarah pada sekelompok siswa yang belajar ditempat yang sangat tradisional dan gurunya pun jauh dari bobot guru Sekolah. Kata kuncinya tradisional dan Islam. Tradisional dalam segala hal dan Islam yang tidak memiliki fasilitas yang dimiliki Sekolah dibawah Departemen Pendidikan. Walaupun sekarang citra tersebut berusaha diubah oleh Departemen Agama, tetapi Madrasah masih selalu menjadi second choice. Siswanya berasal dari siswa yang tidak diterima disekolah negeri, tentunya itu tidak termasuk bagi Madrasah yang jauh lebih maju dari Sekolah di daerah tertentu.
Saya merasa sedih melihat kenyataan ini. Masyarakat (Muslim) masih mengagungkan sistem pendidikan dengan content Pendidikan Agama Islam yang hanya 2 jam pelajaran setiap minggunya. Apakah ini yang menyebabkan banyak Muslim Indonesia sangat berani melakukan kejahatan sosial?. Belajar di Madrasah tidak sekedar agar terampil melakukan ritual keislaman tetapi juga membentuk karakter Islami dalam setiap degup darah generasi muda yang nantinya menjadi manusia indonesia yang mengatur wilayahnya sendiri; kepala keluarga, kepala lingkungan, kepala kantor, bupati, DPR, Presiden atau Pimpinan dalam komunitas khas.
Madrasah mengacu standart isi Departemen Pendidikan Nasional dan content Pendidikan Islam yang jauh lebih mendalam ketimbang sekolah. Mengapa Saudara tidak menjadikan Madarasah sebagai pilihan utama ketika Saudara menanamkan Pendidikan bagi Putra-Putri Saudara. Sains dan tekhnologi juga diajarkan di Madrasah lalu diimbangi dengan Pendidikan Agama Islam, saya yakin ini adalah pilihan yang sangat tepat untuk menciptakan Generasi yang cerdas dan taat mengamalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya.
Saya cukup terpana ketika ada Saudara muslim tidak tahu RA, MI, MTs,dan MA, STAIN, IAIN, UIN itu pendidikan apa. Apakah ini produk dari ketidakpedulian orangtuanya dulu yang juga nggak care terhadap Pendidikan Islam yang seharusnya menjadi nafasnya?. Kalau Pendidikan Islam tidak maju di negeri ini, itu juga karena Umat Islam tidak mau memajukannya tetapi lebih silau dengan tipe pendidikan lainnya.
Tulisan ini adalah bentuk keprihatinan. Kalaupun toh namanya bukan Madrasah, alternatifnya, Sekolah sangat terdesak untuk menambah jam pelajaran PAI. Siapa yang mendesak? Dekadensi moral yang semakin menjiwai negeri yang selalu TERSENYUM INI. Maaf.
Saya merasa sedih melihat kenyataan ini. Masyarakat (Muslim) masih mengagungkan sistem pendidikan dengan content Pendidikan Agama Islam yang hanya 2 jam pelajaran setiap minggunya. Apakah ini yang menyebabkan banyak Muslim Indonesia sangat berani melakukan kejahatan sosial?. Belajar di Madrasah tidak sekedar agar terampil melakukan ritual keislaman tetapi juga membentuk karakter Islami dalam setiap degup darah generasi muda yang nantinya menjadi manusia indonesia yang mengatur wilayahnya sendiri; kepala keluarga, kepala lingkungan, kepala kantor, bupati, DPR, Presiden atau Pimpinan dalam komunitas khas.
Madrasah mengacu standart isi Departemen Pendidikan Nasional dan content Pendidikan Islam yang jauh lebih mendalam ketimbang sekolah. Mengapa Saudara tidak menjadikan Madarasah sebagai pilihan utama ketika Saudara menanamkan Pendidikan bagi Putra-Putri Saudara. Sains dan tekhnologi juga diajarkan di Madrasah lalu diimbangi dengan Pendidikan Agama Islam, saya yakin ini adalah pilihan yang sangat tepat untuk menciptakan Generasi yang cerdas dan taat mengamalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya.
Saya cukup terpana ketika ada Saudara muslim tidak tahu RA, MI, MTs,dan MA, STAIN, IAIN, UIN itu pendidikan apa. Apakah ini produk dari ketidakpedulian orangtuanya dulu yang juga nggak care terhadap Pendidikan Islam yang seharusnya menjadi nafasnya?. Kalau Pendidikan Islam tidak maju di negeri ini, itu juga karena Umat Islam tidak mau memajukannya tetapi lebih silau dengan tipe pendidikan lainnya.
Tulisan ini adalah bentuk keprihatinan. Kalaupun toh namanya bukan Madrasah, alternatifnya, Sekolah sangat terdesak untuk menambah jam pelajaran PAI. Siapa yang mendesak? Dekadensi moral yang semakin menjiwai negeri yang selalu TERSENYUM INI. Maaf.
SEKOLAH MENENGAH KESENIAN INDONESIA (SMKI)
SMKI adalah satu-satunya sekolah menengah kejuruan yang menggarap kesenian Jawa Barat. Ketika didirikan pada tahun 1958 institusi pendidikan ini bernama Konservatori Karwitan dibawah naungan Direktorat Jenderal Kesenian. Setelah dikelola Dikmenjur (Pendidikan Menengah Kejuruan), namanya berubah menjadi Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, dan pada tahun 1994 menjadi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 10 (SMKN 10) Jurusan Seni Pertunjukan. Namun karena dirasa lebih tepat, banyak orang lebih suka menyebutnya sebagai SMKI, atau Sekolah Menengah Kesenian Indonesia.
Sejak awal berdirinya, hingga sekarang, sekolah ini tetap mengemban misi menggali dan mengembangkan kesenian etnik Jawa Barat. Dan bidang keahlian yang tengah dikembangkan pada lembaga pendidikan tingkat menengah ini adalah bidang keahlian: seni karawitan, tari, padalangan, teater dan seni musik. Para alumnus sekolah kesenian ini pada umumnya menjadi pionir dalam hal pembinaan dan pengembangan kesenian di setiap daerah di wilayah Jawa Barat, Jakarta dan dibeberapa negara sahabat.
Selain mengelola bidang pendidikan seni, SMKI juga melayani publik untuk garapan kesenian untuk acara seremonial dan pertunjukan seni. Fasilitas bagi proses belajar mengajar dan pelayanan publik, antara lain: laboratorium komputer, studio rekaman, studio untuk kegiatan workshop, dan gedung pertunjukan. Kawasan sekolah ini tengah direncanakan untuk dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata yang ada di Kota Bandung.
Sejak awal berdirinya, hingga sekarang, sekolah ini tetap mengemban misi menggali dan mengembangkan kesenian etnik Jawa Barat. Dan bidang keahlian yang tengah dikembangkan pada lembaga pendidikan tingkat menengah ini adalah bidang keahlian: seni karawitan, tari, padalangan, teater dan seni musik. Para alumnus sekolah kesenian ini pada umumnya menjadi pionir dalam hal pembinaan dan pengembangan kesenian di setiap daerah di wilayah Jawa Barat, Jakarta dan dibeberapa negara sahabat.
Selain mengelola bidang pendidikan seni, SMKI juga melayani publik untuk garapan kesenian untuk acara seremonial dan pertunjukan seni. Fasilitas bagi proses belajar mengajar dan pelayanan publik, antara lain: laboratorium komputer, studio rekaman, studio untuk kegiatan workshop, dan gedung pertunjukan. Kawasan sekolah ini tengah direncanakan untuk dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata yang ada di Kota Bandung.
Implementasi Psikologi dalam Pembelajaran Sain di SD
Berbagai teori dalam metodologi pembelajaran sering dilatarbelakangi oleh konsepsi-konsepsi psikologi tentang manusia. Sekurang-kurangnya ada tiga pendekatan psikologi yang sangat dominan dalam melahirkan teori-teori tentang jiwa dan perilaku manusia, termasuk di dalamnya: perilaku belajar. Ketiga psikologi tersebut adalah psikoanalisa, behaviorisme, dan psikologi kognitif. Tindakan-tindakan persuasif dalam mendidik anak sangat dipengaruhi oleh Psikoanalisa yang melukiskan manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens). Behaviorisme memandang manusia sebagai makhluk yang dikendalikan dan digerakkan sepenuhnya oleh lingkungan (Homo Mechanicus), dari psikologi ini muncul definisi belajar sebagai perubahan perilaku. Pengertian belajar sebagai proses pengolahan informasi didasarkan pada psikologi koginitif yang melihat manusia sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya (Homo Sapiens).
Karena karakteristik Sains yang cenderung rasional dan empirik, maka tidak secara otomatis keempat jenis psikologi ini berperan langsung dalam pembelajaran Sains. Jenis psikologi yang dewasa ini nampak dominan dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah -termasuk SD- adalah psikologi behaviorisme, kognitif dan humanisme. Oleh karena itu dalam buku ini ketiga jenis psikologi tersebut akan diutamakan dielaborasi ke dalam pembelajaran Sains pada topik-topik lainnya terutama pada topik Implementasi Teori Piaget dalam Pembelajaran Sains SD, serta pada topik-topik model pembelajaran. Penjelasan lebih lanjut tentang konsepsi manusia dalam psikologi, lebih banyak dirujuk dari buku Psikologi Komunikasi (Rosda Karya, Jaluddin Rakhmat).
Konsepsi Dasar Manusia dalam Psikoanalisa
Pada mata kuliah yang terkait dengan psikologi pendidikan Anda sudah pernah berkenalan dengan nama Sigmund Freud, pendiri psikoanalisa. Ia adalah orang pertama yang berusaha merumuskan psikologi manusia. Psikoanalisa memfokuskan kajiannya kepada totalitas kepribadian manusia, bukan pada bagian-bagian yang parsial. Menurut Freud, perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga sub-sistem dalam kepribadian manusia: Id, Ego, dan Superego. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia - pusat instink atau hawa nafsu. Ada dua instink dominan: (1) Libido atau eros, instink reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif; (2) Thanatos, instink destruktif dan agresi. Termasuk ke dalam kelompok pertama adalah segala sesuatu yang mendatangkan kenikmatan, semisal kasih ibu, pemujaan pada Tuhan, cinta diri (narcisism), lapar, dan dorongan seksual. Sedangkan yang termasuk kelompok kedua antara lain desakan marah, kebencian, irihati, keinginan merusak, membunuh, dan peperangan. Id bergerak dengan prinsip kesenangan, ingin segera memenuhi kebutuhan, egoistis, tidak bermoral, dan tidak mau tahu dengan kenyataan.
Id hanya kuat melahirkan keinginan tetapi tidak mampu memu-askannya. Subsistem yang kedua - ego- berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan realitas di dunia luar. Ego adalah unsur rasional dan realistis. Ego lah yang mengendalikan Id secara umum. Unsur lain yang mengendalikan Id adalah moral. Unsur moral dalam pertimbangan terakhir tindakan manusia disebut Freud sebagai superego.
Superego adalah polisi kepribadian, hati nurani (conscience) - mewakili yang ideal. Ia merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakat. Ia mendorong ego untuk menekan dan mengendalikan desakan hasrat dari Id yang tidak normal ke dalam bawah sadar. Jika ego menyerah pada Id dan menghianati superego maka akan tumbuh perasaan bersalah. Sebaliknya jika Id tidak dipenuhi akan timbul konflik, frustasi atau kete-gangan. Untuk mengatasi hal itu, lahirlah pertahan ego dengan cara mendistorsi (mengabaikan, menganggap tidak ada, merumuskan cara padang baru) realitas. Id dan superego berada di dalam bawah sadar manusia; sedangkan ego berada di tengah-tengah menjembatani antara Id dan superego. Secara singkat, dalam psikoanalisa perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (Id), komponen psikologis (ego), dan komponen sosial (superego); atau unsur animal, rasional dan moral. Dalam pandangan psikoanalisa manusia dilukiskan sebagai makhluk yang digerakkan oleh desakan keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens).
Karena psikoanalisa lebih banyak berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak nampak, maka tidak banyak yang dapat kita implementasikan dari psikoanalisa ke dalam pembelajaran Sains. Namun secara umum harus senantiasa disadari oleh setiap guru SD bahwa dalam mengikuti pembelajaran di kelas -termasuk pembelajaran Sains- setiap siswa memiliki potensi untuk menumpahkan segala desakan Id baik yang bersifat positif maupun negatif. Desakan positif antara lain mereka sangat membutuhkan kasih sayang baik dari guru maupun teman, ingin bermain-main, atau desakan biologis seperti lapar. Desakan negatif, antara lain adalah kecenderungan merusak, ribut, atau mengganggu teman. Untuk mengatasi hal itu guru dituntut mampu menyajikan pembelajaran Sains yang memungkinkan siswa senang, bermain, bekerjasama dengan temanya, mengurangi kadar off-task time dan meningkatkan on-task time bagi siswa, serta secara proporsional menerapkan aturan-aturan dan kegiatan yang mengarah kepada pembentukan disiplin dan sikap siswa yang positif. Untuk mencapai hal itu sekurang-kurangnya guru harus:
(1) memenuhi kebutuhan biologis anak yang tidak dapat digantikan dengan lainnya (misalnya rasa lapar dan haus);
(2) memberikan penjelasan atau alasan-alasan rasional dan
(3) membuat tata tertib untuk mencegah tindakan-tindakan destruktif siswa selama pembelajaran; misalnya menetapkan aturan main atau kontrak kegiatan sebelum siswa melakukan praktikum agar praktikum berjalan lancar dan kecenderungan siswa merusak alat relatif dapat diantisipasi.
Konsepsi Dasar Manusia dalam Behaviorisme
Berbeda dengan psikoanalisa, Behaviorisme menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Sekarang, teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilku manusia -kecuali instink- adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakuknya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan (stimulus). Dari sinilah timbul konsep "manusia mesin" (Homo Mechanicus). Dalam pandangan behaviorisme manusia adalah binatang tingkat tinggi dengan "jiwa" berupa tabularasa.
Ada sejumlah konsep belajar yang dikembangkan oleh kaum behavioris untuk mengefektifkan pengaruh lingkungan terhadap hasil belajar. Metode yang paling primitif adalah metode pelaziman klasik (classical conditioning). Diambil dari Sechenov (1829-1905) dan Pavlov (1849-1936), pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli terkondisi (conditioned stimulus) dengan stimuli tertentu yang tak terkondisikan (unconditioned stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral menghasilkan perilaku tertentu yang terkondisikan. Sejalan dengan Pavlov adalah Hukum Pengaruh (Law of Effect) dari E.L. Thorndike.
Hukum pengaruh mengemukakan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip, akan meningkat. Sebaliknya jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip, akan menurun. Jadi, konsekuensi-konsekuensi dari perilaku seseorang pada suatu saat, memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang itu selanjutnya.
Pelaziman klasik dan hukum pengaruh akan menjelaskan bahwa bila setiap kali siswa berinisitaif mencoba alat Sains guru selalu menyebutnya nakal, siswa akan tidak berminat lagi untuk mencoba alat saat praktikum Sains. Bila pembelajaran Sains selalu disertai dengan soal-soal yang memusingkan siswa, kehadiran pelajaran Sains akan mencemaskan siswa. Sebaliknya jika munculnya pembelajaran Sains di kelas senantiasa berbarengan dengan terciptanya suasana bermain yang menggairahkan siswa, pembelajaran Sains akan dirindukan siswa.
Skiner menambahkan jenis pelaziman yang lain. Ia menyebutnya operant conditioning. Pelaziman jenis ini berkaitan dengan proses memperteguh respon yang baru dengan mengasosiasikannya pada stimuli tertentu berkali-kali. Oleh karenya pelaziman operant sering menggunakan peneguhan (reinforcement) untuk memperkuat hasil belajar yang diharapkan. Pada operant conditioning inilah dikenal prinsip ganjaran (reward) dan hukuman (punishment). Jika setiap kelompok yang paling tertib dalam melakukan praktikum selalu dipuji guru, maka kelompok tersebut akan cenderung mempertahankan atau bahkan meningkatkan kinerjanya. Jika setiap seorang siswa tiba-tiba mengajukan pertanyaan pada saat guru mendemonstrasikan alat atau menjelaskan konsep, kemudian guru meng-abaikannya atau bahkan menghardiknya, maka keengganan siswa untuk bertanya akan makin kuat menjadi perilaku siswa.
Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Pelaziman klasik dan operant tidak dapat menjelaskan dengan pasti mengapa anak begitu cepat belajar berbicara dalam bahasa ibunya. Menurut Bandura, belajar terjadi karena peniruan (imitation). Kemampuan meniru respons adalah penyebab utama belajar.
Teori belajar sosial memiliki beberapa konsep dasar. Konsep-konsep tersebut adalah:
(1) Pemodelan (modelling), seseorang belajar dengan cara meniru perilaku orang lain dan pengalaman vicarious yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain;
(2) Fase Belajar, terdiri dari fase perhatian terhadap model (attentional phase), fase mengendapkan hasil memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention phase), fase menampilkan ulang perilaku model oleh pebelajar (reproduction phase) dan fase motivasi (motivation phase) ketika siswa berkeinginan mengulang-ulang perilaku model yang mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif dari lingkungan;
(3) Belajar Vicarious, seseorang belajar dengan melihat apakah orang lain diberi ganjaran atau hukuman waktu terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu;
(4) Pengaturan-sendiri (self-regulation), manusia mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri.
Teori belajar Bandura dapat dijadikan landasan tentang pentingnya penggunaan metode demonstrasi oleh guru atau kerja kelompok siswa dalam pembelajaran Sains. Teori ini juga sangat efektif untuk dijadikan landasan dalam menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada siswa berkenaan dengan nilai-nilai instrinsik dari mata pelajaran Sains, terutama dengan penerapan teori Modelling. Melalui ini siswa akan melakukan peniruan terhadap apa yang diamatinya yang nampak pada kinerja guru dan teman sebaya di kelas.
Konsepsi Dasar Manusia dalam Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif berakar pada filsafat rasionalisme. Kaum rasionalis mempertanyakan apakah betul bahwa penginderaan manusia, melalui pengalaman langsung, sanggup memberikan kebenaran. Dalam banyak hal alat indera sering tidak akurat dalam memberikan informasi. Bukankah mata Anda mengatakan bahwa kedua rel kereta api yang sejajar itu bertemu di ujung sana? Bukankah mata Anda memberikan stimuli bahwa pada batas permukaan air-udara sebatang tongkat yang tercelup sebagian jika diamati secara horizontal nampak patah? Sudah barangtentu Anda tidak menerima stimulus tersebut sebagai pengalaman belajar yang benar! Jika manusia tunduk sepenuhnya pada perlakuan lingkungan maka manusia akan memperoleh banyak hasil belajar yang superfisial (dangkal) dalam hal kebenaran.
Tokoh-tokoh psikologi kognitif sepakat bahwa jiwa lah (mind) yang menjadi alat utama pengetahuan bukan alat indera. Jiwa mengolah informasi pengalaman inderawi secara aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna. Tidak semua stimuli kita terima begitu saja. Stimuli melahirkan respon sesuai dengan tujuan dan pola yang ditentukan oleh pikiran. Tetapkanlah tujuannya: operasi pertambahan, dan stimuli "dua dan tiga" menimbulkan respons "lima". Tetapkan tujuannya perkalian, dan stimuli yang sama, sensasi auditif yang sama, "dua dan tiga" melahirkan respons "enam". Sensasi dan pikiran adalah pelayan, mereka menunggu panggilan kita, mereka tidak datang kecuali kalau kita butuhkan. Ada tuan yang menyeleksi dan mengarahkan," Demikian dipaparkan Jalaluddin Rakhmat (1989:30) .
Rasionalisme sebagai akar psikologi kognitif tampak jelas pada aliran psikologi Gestalt di awal abad XX. Para psikolog Gestalt, seperti juga kebanyakan psikoanalis, adalah orang-orang Jerman: Meinong, Ehrenfels, Kohler, Wertheimer, dan Koffka. Menurut mereka, manusia tidak memberikan respons kepada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan. Sebelum memberikan respons, manusia menangkap dulu "pola" stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang bermakna. Pola ini disebut Gestalt. Huruf "I" akan dianggap sebagai angka satu dalam rangkaian "I, II, III, IV," tetapi menjadi huruf "el" dalam rangkaian hurup pada kata "AIasan" atau huruf "i" dalam "Indonesia". Manusialah yang menentukan makna stimuli itu, bukan stimuli itu sendiri. Di kalangan ilmu komunikasi terkenal proposisi "Words don't mean, people mean", kata-kata tidak bermakna, oranglah yang memberi makna. (Jalaluddin Rakhmat, 1989:31)
Psikologi Gestalt melalui Wertheimer (1923) mengembangkan prinsip-prinsip (teori gestalt) berkenaan dengan persepsi kognitif terhadap obyek sebagai berikut. Pertama, Hukum Kedekatan (The Law of Proximity), elemen visual (terinderai) yang saling berdekatan satu sama lain akan dipersepsi sebagai bagian dari suatu kelompok. Informasi OOO OOO OOO secara segera akan dipersepsi sebagai tiga kelompok masing-masing beranggotakan tiga O, dari pada sebagai satu kelompok dengan anggota sembilan O. Dalam mengefektifkan kegiatan demonstrasi atau praktikum Sains, guru yang akan menyajikan sejumlah obyek yang harus diobservasi siswa semestinya mempertimbangkan betul peletakan obyek-obyek tersebut (benda atau gambar) sedemikian rupa sehingga observasi siswa lebih terfokus dan efektif. Jauhkanlah obyek yang tidak perlu diobservasi dari obyek yang diobservasi.
Kedua, Hukum Kesamaan (The Law of Similarity). Elemen-elemen visual yang memiliki kesamaan dalam banyak segi seperti bentuk dan ukuran akan cenderung dipersepsi sebagai satu kelompok yang sama. Hukum ini dapat diimplementasikan dalam mengefektifkan upaya guru mengembangkan keterampilan proses mengklasifikasi bagi siswa. Jika kepada siswa disajikan sejumlah benda (misalnya gambar-gambar hewan, tumbuhan, dan makhluk tak hidup) dengan beragam bentuk, ukuran, dan warna kemudian guru meminta siswa untuk mengklasifikasikan benda-benda tersebut secara bebas, maka siswa akan mengklasifikasikannya berdasarkan kesamaan segi yang nampak menonjol. Apabila guru meng-inginkan siswa mengklasifikasikan secara cepat berdasarkan karakteristik tertentu (misalnya hewan) maka sajikanlah gambar-gambar hewan tersebut dengan warna yang mencolok dan sama.
Ketiga, Hukum Arah Kelaziman (The Law of Common Direction); benda-benda atau sesuatu akan dipahami sebagai suatu kelompok (kesatuan) apabila nampak sebagai suatu rangkaian kontinum/sempurna yang mengarah kepada bentuk yang lebih dikenal.
yang membagi dua sebuah lingkaran. Sangat kecil kemungkinan dipersepsi sebagai dua belahan terpisah dari setengah lingkaran yang digabungkan oleh sebuah garis.
Keempat, Hukum Kesederhanaan (The Law of Simplicity); apa yang kita persepsi akan diorganisasikan ke dalam suatu bentuk keteraturan yang sederhana.
Dua hukum terakhir dari prinsip persepsi Gestalt dapat diimplementasikan dalam pembelajaran Sains SD terutama untuk mengop-timalkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses memprediksi, melakukan ekstrapolasi, membaca grafik dan membuat kesimpulan.
Dari Gestalt kita mengetahui bahwa pada dasarnya manusia itu berpikir holistik (utuh-menyeluruh) terlebih pada usia kanak-kanak. Pada masanya, kanak-kanak belum dapat secara efektif berpikir parsial, spesifik, dan terkotak-kotak. Berdasarkan itu maka pembelajaran Sains di SD semestinya disajikan dalam bentuk yang holistik pula terpaut dengan dunia nyata anak dan mata pelajaran yang lain. Untuk itu lah, para pakar pendidikan dewasa ini menggagaskan tepatnya pembelajaran terpadu bagi anak SD.
Perlu juga diperhatikan bahwa kemampuan persepsi siswa terhadap informasi dalam pembelajaran Sains turut dipengaruhi oleh tingkat atensi (pehatian)nya terhadap obeyek-obyek yang diobservasi. Gerakan, intensitas stimuli, kebaruan (novelty), dan perulangan adalah faktor-faktor yang dapat dimanipulasi guru untuk meningkatkan atensi siswa terhadap obyek observasi.
Benda-benda yang bergerak cenderung menarik perhatian. Obyek yang ada di tangan guru yang digerakkan secara proporsional akan memancing perhatian guru. Movie-film akan lebih menarik siswa dari slide-film yang monoton. Ukuran suatu obyek yang cukup besar di antara obyek-obyek lain yang berukuran kecil, gambar berwarna merah menyala di antara gambar-gambar lain yang berwarna putih, akan lebih diperhatikan siswa karena merupakan obyek yang memiliki intensitas stimuli yang tinggi. Demikian halnya alat-alat peraga atau media yang beragam/berbeda dari biasanya yang disediakan guru dalam pembelajaran merupakan hal yang memberi kesan kebaruan yang akan menarik minat siswa. Sedangkan, obyek (gambar, benda, suara, kalimat, istilah) yang disajikan berulang-ulang akan mendapat perhatian utama dari siswa.
Yelon & Weinstein (1977) menyarankan langkah-langkah umum untuk mengefektifkan dan meningkatkan kemampuan persepsi siswa sebagai berikut.
1. Tonjolkanlah perbedaan dan ciri khusus dari obyek-obyek yang akan diobservasi dan dipersepsi siswa. Buatlah latar belakang gambar benar-benar berbeda dari gambarnya.
2. Pada tahap awal gunakan contoh-contoh yang telah dikenal siswa sehari-hari.
3. Mantapkan tujuan dan keinginan siswa dengan cara menanyai mereka, apa yang ingin didapat/dicari dalam kegiatan demonstrasi atau percobaan.
4. Contoh-contoh benda, gambar atau simbol yang memiliki karak-teristik atau makna yang sama diletakkan berdekatan.
5. Dalam kegiatan pembelajaran yang menuntut siswa mengklasifikasikan sesuatu, sajikan lah sesuatu itu dengan menggunakan prinsip kesamaan.
Teori Piaget tentang Perkembangan Kognitif
Selain keterampilan laboratoris atau motoris, jenis keterampilan lain yang juga penting diperoleh siswa dari belajar Sains adalah keterampilan intelektual dalam menggunakan nalar. Untuk mencapai keterampilan minimal tersebut guru harus menyajikan pembelajaran Sains yang memberikan kemampuan-kemampuan tertentu yang dapat dialihgunakan. Kemampuan itu antara lain berupa
(a) kemampuan mengajukan pertanyaan (apa, bagaimana, mengapa) dan mencari jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan,
(b) kemampuan mengajukan gagasan berdasarkan pengalaman dan penalaran terhadap kejadian di sekitarnya dan
(c) kemampuan bertindak berdasarkan nalar serta bertanggungjawab terhadap keteraturan sistem di alam.
Siswa akan memiliki kemampuan berpikir yang baik apabila siswa memiliki banyak pengalaman belajar. Carin & Sund (1989:22) menyatakan bahwa memperkaya pengalaman yang bermakna menimbulkan kaya akan berpikir. Sementara Tyler (1949:72) berpendapat bahwa pengalaman belajar sangat membantu siswa dalam memperoleh informasi yang fungsional sehingga akan sangat bermanfaat dalam mempersiapkan siswa menghadapi permasalahan. Pembelajaran atau pengalaman belajar yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah akan mewujudkan pengembangan kemampuan berpikir. Oleh karena itu mengajar untuk berpikir, berarti memberikan kesempatan bagi siswa untuk melatih penggunaan konsep-konsep dan skema-skema dasar fenomena-fenomena berpikir. Pengalaman ini diperlukan supaya siswa memiliki struktur konsep yang dapat memberikan solusi terhadap sesuatu permasalahan. Dengan kata lain kemampuan berpikir akan membekali siswa dengan mekanisme yang diperlukan untuk menganalisis suatu permasalahan (Tyler, 1949: 68-71).
Seperti diungkapkan di muka, Sains sebagai mata pelajaran di sekolah dasar mulai diberikan di kelas III. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan psikologis. Usia anak kelas III SD pada umumnya berada pada rentang usia 8-13 tahun, yang oleh Oswald Kroh (dalam Kartini, 1990:137) dimasukkan pada masa realisme-kritis. Pada periode ini pengamatan anak bersifat realistis dan kritis. Anak pada usia ini sudah dapat:
a) mengadakan sintese-logis,
b) menghubungkan bagian-bagian dari suatu kejadian menjadi satu kesatuan atau menjadi satu struktur,
c) memilih dan mengolah informasi untuk digunakan mengambil keputusan (Fensham; Horsley, et al.; Yager dalam Panuel Adinawar N., 1997:7).
Sintese logis yaitu suatu kemampuan yang dimiliki anak dalam menjawab suatu permasalahan lengkap dengan alasan yang dapat diterima. Hal ini dapat terjadi karena munculnya pengertian, wawasan dan akal yang sudah mencapai taraf kematangan.
Berdasarkan tinjauan psikologis di atas maka pembelajaran Sains di SD diutamakan pada cara membangun pengetahuan berdasarkan penga-matan, pengalaman, penyusunan gagasan, pengujian melalui suatu perco-baan atau penyelidikan dan pencarian informasi.
Teori Dasar Perkembangan Kognitif
Menurut psikologi kognitif, manusia (organisme) memiliki cara tersendiri untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989:150; Good, 1977:149; Woolfolk & Nicolich, 1980:49) kemajuan atau perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi pada aktivitas kognitif organisme yaitu, organisasi dan adaptasi. Organisasi memberi kemampuan pada organisme untuk mensistematikkan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Dengan organisasi struktur fisik dan struktur psikologis diintegrasikan menjadi struktur intelektual tingkat tinggi.
Semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk beradaptasi. Arti adaptasi disini adalah adaptasi terhadap informasi yang datang dari "luar" ke dalam kognisi. Adaptasi ini dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang datang dari luar. Asimilasi dapat diartikan sebagai penyerapan dan pengintegrasian pengalaman-pengalaman baru kepada stuktur intelektual yang sudah ada. Dalam istilah perkembangan intelektual, anak telah mengalami proses belajar. Karena disini anak telah dapat menentukan hubungan antara pengalaman yang telah ia miliki dengan masalah yang datang dari luar (stimulus) dan merespon stimulus tersebut sehingga anak menjadi paham.
Stimulus yang diterima tidak selalu dapat diasimilasikan dengan struktur yang ada karena, tidak ada struktur yang tepat untuk stimulus itu. Dalam hal seperti ini anak dapat berbuat salah satu atau keduanya dari cara sebagai berikut: a) mengganti struktur yang lama dengan struktur yang baru, b) mengubah struktur yang ada sehingga stimulus baru menjadi cocok. Proses ini disebut akomodasi. Jadi dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respon terhadap masalah yang datang dari luar.
Menurut Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989:151; Good, 1977:149; Woolfolk & Nicolich, 1980:49) adaptasi terbentuk karena adanya proses asimilasi dan akomodasi. Kedua proses tersebut fungsional terhadap perkembangan kognitif yang senantiasa berfungsi dan komplementer pada setiap tingkat perkembangan intelektual. Bila proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi pada lingkungannya maka akan terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium). Ketidakseimbangan ini menimbulkan akomodasi, yaitu terjadinya perubahan struktur yang ada atau timbul struktur yang baru sampai mencapai keseimbangan. Peristiwa ini disebut ekuilibrasi, yaitu proses perubahan mental seseorang dari keadaan tidak seimbang menjadi seimbang. Namun keadaan ini tidak statis, selalu ada pertumbuhan intelektual yang berupa proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keseimbangan (disequilibrium dan equilibrium). Bila hal ini terjadi pada individu maka ia selalu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi dibanding dengan sebelumnya.
Proses asimilasi dan akomodasi dapat diterapkan pada kegiatan belajar di kelas. Adakalanya perkembangan kognitif siswa sebagian tergantung pada akomodasi. Disini siswa harus masuk pada area yang tidak dikenal untuk dapat belajar. Ia tidak dapat hanya mempelajari apa yang telah diketahuinya, dengan kata lain ia tidak dapat hanya mengandalkan asimilasi. Bila dalam proses belajar siswa tidak mendapatkan hal-hal yang baru, siswa mengalami "over asimilation", dan bila dalam proses belajar siswa tidak mengerti, berarti siswa mengalami "over accomodation". Kedua hal ini tidak memperlancar perkembangan kognitif siswa, maka perlu diusahakan adanya keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Faktor-faktor Penunjang Perkembangan Kognitif
Berdasarkan hasil studi Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989: 157-158; Moh. Amien, 1987: 46; Woolfolk & Nicolich, 1980: 50-51), terdapat lima faktor yang mempengaruhi seseorang pindah tahap perkembangan intelektualnya. Kelima faktor itu adalah: kematangan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), pengalaman logika matematika (logico-methematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan ekuilibrasi (equilibration).
Kematangan yaitu proses perubahan fisiologis dan anatomis, proses pertumbuhan tubuh, sel-sel otak, sistem saraf dan manifestasi lainnya yang mempengaruhi perkembangan kognitif. Kematangan mempunyai peran yang penting dalam perkembangan intelektual. Hal ini ditunjukkan oleh hasil beberapa penelitian yang membuktikan adanya perbedaan rata-rata usia anak pada tahap perkembangan yang sama pada satu masyarakat dengan masyarakat lain yang berbeda (La Maronta Galib, 1992: 36-43 & 97; Harry, 1983: 40 & 97).
Pengalaman fisik yaitu pengalaman yang melibatkan seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan fisik, memanipulasi obyek-obyek di sekitarnya dan membuat abstraksi dari obyek tersebut. Melalui pengalaman fisik akan terbentuk pengetahuan fisik dalam diri individu, karena pengetahuan fisik merupakan pengetahuan tentang benda-benda yang ada "di luar" dan dapat diamati dalam kenyataan eksternal (Carin & Sund, 1989:38; Kamii, 1978:36).
Pengalaman logika matematika yaitu pengalaman membangun hubungan-hubungan atau membuat abstraksi yang didapat dari hasil interaksi terhadap obyek. Dengan pengalaman logika matematika akan terbentuk pengetahuan logika matematika dalam diri individu. Pengetahuan logika matematika merupakan hubungan-hubungan yang diciptakan subyek dan diperlakukan pada obyek-obyek (Carin & Sund, 1989:38; Kamii, 1978:36).
Transmisi sosial yaitu proses interaksi sosial dalam menyerap unsur-unsur budaya yang berfungsi mengembangkan struktur kognitif. Hal ini dapat terjadi melalui informasi yang datang dari orang tua, guru, teman, media cetak dan media elektronik. Dengan adanya transmisi sosial akan terbentuk pengetahuan sosial dalam diri individu. Pengetahuan sosial merupakan pengetahuan yang didasarkan pada perjanjian sosial, suatu perjanjian atau kebiasaan yang dibuat oleh manusia (Carin & Sund, 1989:38-39; Kamii, 1978:37). Pengetahuan sosial dan pengetahuan fisik merupakan pengetahuan tentang isi yang bersumber dari kenyataan yang ada "di luar", sementara pengetahuan logika matematik mengkonstruksi keadaan nyata tersebut melalui pikiran.
Ekuilibrasi yaitu kemampuan untuk mencapai kembali keseimbangan selama periode ketidakseimbangan. Ekuilibrasi merupakan suatu proses untuk mencapai tingkat kognitif yang lebih tinggi melalui asimilasi dan akomodasi. Pada proses ini mengintegrasikan faktor-faktor kematangan, pengalaman fisik, pengalaman logika matematika, dan transmisi sosial (Kamii, 1978:48)
Dalam pembentukan pengetahuan, yang berperan sangat besar adalah faktor pengaturan sendiri (self-regulation) atau ekuilibrasi (equilibration). Berdasarkan hasil temuannya, Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989: 159) mengungkapkan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak. Oleh karena itu pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru kepada pikiran anak didiknya, tetapi melalui pemerolehan yang diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Terlebih lagi yang menyangkut pada pembentukan pengetahuan fisik dan pengetahuan logika matematik. Pengetahuan ini dibangun sendiri oleh anak melalui pengalaman dengan adanya peristiwa interaksi antara struktur kognisi awal yang dimilikinya dengan informasi dari lingkungan.
Konflik kognitif terjadi pada saat berlangsung interaksi antara konsepsi awal yang telah dimiliki anak dengan adanya fenomena-fenomena baru yang ditemui anak. Fenomena baru dengan konsepsi awal tidak dapat dintegrasikan begitu saja. Pengintegrasian memerlukan suatu modifikasi atau perubahan struktur kognitif anak agar mencapai keseimbangan. Peristiwa ini akan tetap terjadi selama anak menerima pengetahuan baru.
Di sekolah peristiwa ini terjadi melalui pembelajaran. Oleh karena itu konflik kognitif dapat diatasi dengan belajar, yang merupakan proses pengaturan sendiri (self regulation) dalam mencapai kesetimbangan/ ekuilibrasi (equilibration) untuk selanjutnya berakhir pada konstruksi pengetahuan oleh anak yang berdasarkan pengalaman melalui interaksi dengan obyek.
Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget (Carin & Sund, 1989:23-47; Ratna W. Dahar, 1989:152-156) perkembangan intelektual seseorang melalui empat tahap berurutan, yaitu:
a) tahap sensori motor dalam rata-rata usia sekitar 0-2 tahun,
b) tahap praoperasional dalam rata-rata usia sekitar 2-7 tahun,
c) tahap operasional konkrit dalam rata-rata usia sekitar 7-11 tahun, dan d) tahap operasional formal dalam rata-rata usia sekitar 11 tahun keatas.
Perubahan dari tahap yang satu ke tahap lain kecepatannya tidak pasti (berbeda) untuk masing-masing individu. Oleh karena itu bila anak yang berada pada tahap tertentu dapat dengan cepat berubah ke tahap berikutnya, maka perubahan yang terjadi boleh jadi disebabkan oleh adanya perbedaan latar belakang, kemampuan, ketangkasan, dan upaya anak. Penentuan rentang usia pun, tidak berlaku pasti, tetapi merupakan rata-rata. Meskipun demikian urutan tahap dalam melampaui satu tahap ke tahap berikutnya selalu sama, tidak ada individu yang loncat tahap. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan adanya individu yang tidak sampai ke tahap operasional formal. Inhelder dalam studi doktoralnya menemukan anak usia tahap operasional formal yang mentalnya terbelakang ternyata kemampuan intelektual tidak pada tahap operasional formal (Carin & Sund, 1989:24). Setiap tahap perkembangan ditandai pula oleh pola penalaran yang khas. Garis besar gambaran pola penalaran anak pada masing-masing tahap perkembangan diketahui dari ciri-ciri atau karakteristik sebagai berikut.
Tahap sensori motor adalah tahap pertama dalam perkembangan intelektual, pada tahap ini anak memiliki tingkah laku yang didominasi oleh gerakan-gerakan refleks atau bersifat motorik. Gerakan tersebut sebagian besar disebabkan oleh stimulus. Dominasi gerakan refleks pada tahap ini lambat laun berkurang seiring dengan berkembangnya daya pikir. Perkembangan ini didapat melalui pengalaman belajar merasakan dan mengenal obyek, sehingga pada akhir tahap ini anak dapat "membedakan". Misalnya; anak sudah tahu orang tuanya, nama-nama benda, binatang.
Tahap praoperasional adalah tahap kedua dalam perkembangan intelektual. Tahap ini merupakan tahap persiapan dalam pengorganisasian operasi konkrit. Tahap ini dapat dibagi ke dalam tahap berpikir pra-logis dan tahap berpikir intuitif. Tahap berpikir pra-logis berada pada rata-rata usia sekitar 2 - 4 tahun. Pada tahap ini anak memiliki penalaran transduktif yaitu suatu penalaran yang bergerak dari khusus ke khusus. Tahap berpikir intuitif berada pada rata-rata usia sekitar 4 - 7 tahun. Pada tahap ini anak dapat menilai dan mempertimbangkan atas dasar persepsi pengalaman sendiri, oleh karena itu anak pada tahap ini bersifat egosentris. Hal lain yaitu anak berpikir ireversibel, berpikir statis, dan concreteness.
Berpikir ireversibel yaitu belum dapat berpikir kebalikan dari cara berpikir semula. Artinya anak tidak mampu memahami suatu transformasi atau perubahan-perubahan urutan dalam suatu peristiwa. Berpikir statis adalah salah satu ciri anak pada tahap preoperasional. Dengan kata lain anak pada tahap ini tidak menggunakan macam-macam operasi, melainkan hanya tertuju pada satu dimensi serta tidak memperhatikan gerakan-gerakan perubahan. Concreteness adalah kemampuan berpikir anak masih berorientasi pada hal-hal yang konkrit. Anak belum mampu memahami hal-hal yang abstrak atau yang direpresentasikan secara verbal (Ratna W. Dahar, 1989:153; Good, 1977:153; Carin & Sund, 1989:27; Woolfolk & Nicolich, 1980:55-56). Pada akhir tahap ini merupakan saat transisi ke operasional konkrit, disini mungkin saja terjadi penguasaan konservasi panjang, bilangan, dan kuantitas.
Tahap operasional konkrit adalah tahap ketiga dari tahap perkem-bangan intelektual. Tahap ini berada pada saat anak-anak usia SD. Tahap ini merupakan permulaan berpikir rasional. Pada tahap operasional konkrit anak mampu berpikir logis melalui obyek-obyek konkrit, dan sulit memahami hal-hal yang hanya direpresentasikan secara verbal (Sund; Becker, Engelman & Thomas; Bolton; Beard & Hunt dalam La Maronta Galib, 1992:22). Peristiwa berpikir dan belajar anak pada tahap ini sebagian besar melalui pengalaman yang nyata (Carin & Sund, 1989:29) yang berawal dari proses interaksi anak dengan obyek (benda) bukan dengan lambang, gagasan ataupun abstraksi. Dengan kata lain anak-anak pada tahap ini belum mampu melakukan proses berpikir yang abstrak, belum mampu belajar dengan baik tentang proses sains yang abstrak (seperti tentang peristiwa photosintesa), serta selalu mengalami kesulitan dalam memahami konsep yang abstrak, seperti mempelajari konsep gravitasi (Carin & Sund, 1989:30). Meskipun demikian anak pada tahap ini memiliki operasi yang dapat dikembangkan yaitu operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, klasifikasi, kores-pondensi, penempatan urutan. Juga menguasai pengukuran dan konservasi volume, berat dan luas (Carin & Sund, 1989:30,37; Ratna W. Dahar, 1989:154; Good, 1977:106-109).
Disamping beberapa ciri yang telah disebutkan di atas, anak-anak tahap operasional konkrit sudah memperlihatkan kemampuan berpikir kombinativitas (combinativity), reversibilitas (reversibility), asosiatif (asso-siative), dan identitas (identity) (Ratna W. Dahar, 1989: 154; Woolfolk & Nicolich, 1980: 58). Kemampuan berpikir kombinativitas (combinativity) adalah kemampuan mengadakan berbagai kombinasi dari macam-macam hubungan. Contoh, anak dapat menyimpulkan bahwa A lebih besar dari C, apabila A lebih besar dari B dan B lebih besar dari C. Atau A sama dengan C, karena A sama dengan B dan B sama dengan C (pemahaman transitif).
Kemampuan berpikir reversibilitas (reversibility) adalah kemampuan berpikir atau melakukan operasi-operasi sebagai kebalikan dari cara berpikir semula. Operasi yang dapat dilakukan seperti operasi logis atau matematis yang dapat dihadapkan dengan operasi yang berlawanan. Contohnya, semua makhluk - semua makhluk tak hidup = semua makhluk tak hidup dan semua makhluk hidup + semua makhluk tak hidup = semua makhluk. Reversibilitas ini merupakan sifat esensial dalam sistem kognisi, penguasaannya, penting untuk dapat memahami konsep-konsep sains dan matematika (Piaget & Bruner, dalam La Maronta Galib, 1992: 23).
Kemampuan berpikir asosiatif (assosiative) adalah kemampuan untuk mencapai suatu jawaban dengan menggunakan beberapa cara yang menghubung-kan unsur-unsur yang terdapat dalam suatu objek atau peristiwa. Kemampuan berpikir ini misalnya ditunjukkan oleh kemampuan menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki orang tua; Tidak ada ikan yang hidup di darat, karena semua ikan yang ditemukan selalu bercirikan tempat hidupnya air.
Kemampuan berpikir identitas (identity) adalah kemampuan memahami sifat-sifat tertentu dari suatu objek yang tidak berubah bila tidak ditambah atau dikurangi. Dalam hal ini keadaan menjadi sama atau serupa dalam aspek-aspek tertentu meskipun telah dilakukan transformasi-transformasi. Kemampuan berpikir ini sangat berkaitan dengan kemampuan berpikir konservasi (ketetapan).
Mengacu pada teori di atas maka anak pada tahap operasional konkrit tidak mudah dikelabui oleh perbedaan-perbedaan persepsi seperti yang terjadi pada anak preoperasional. Oleh karena itu anak pada tahap operasional konkrit sudah memiliki pemahaman konservasi. Artinya anak pada tahap operasional konkrit sudah dapat melakukan perubahan-perubahan suatu "obyek" secara fisik, dan menyatakan bahwa perubahan bentuk, posisi, dan sebagainya tidak akan merubah jumlah proporsi obyek tersebut (Moh. Amien, 1987: 61; Woolfolk & Nicolich, 1980: 56). Namun demikian hasil penelitian di USA membuktikan bahwa sejumlah besar siswa sekolah menengah atas masih mempunyai kesulitan dalam memahami konservasi (Moh. Amien, 1987: 62).
Tahap operasional formal adalah tahap akhir dari perkembangan intelektual menurut Piaget, sebab setelah itu tidak terjadi lagi peningkatan kualitas intelektual. Berbeda dengan anak yang berada pada tahap sebelumnya, anak operasional formal mampu melakukan penalaran dengan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi, dan generalisasi-generalisasi. Artinya anak-anak operasional formal sudah bisa menggunakan operasi logisnya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat verbal, rumit, dan kompleks. Disini logika sudah menjadi alat berpikir anak ini sehingga ia mampu melakukan operasi terhadap operasi. Artinya anak bisa melakukan operasi dengan tidak mengacu pada obyek, tetapi pada sumber yang ditangkap dari relasi yang terkandung dalam informasi (operasi-operasi) yang diberikan dan menggunakannya untuk menemukan hubungan.
Dengan memperhatikan kemampuan-kemampuan tersebut, kita dapat membedakan anak yang berada pada tahap operasional formal dengan anak yang berada pada tahap sebelumnya. Misalnya untuk mengetahui tahap perkembangan anak yang dilakukan dengan memberi tugas (task) konservasi; reaksi dari anak tahap operasional konkrit berbeda dengan anak tahap operasional formal. Boleh jadi bagi anak tahap operasional formal tidak menanggapinya dengan serius karena baginya masalah tersebut sudah jelas.
Kemampuan Berpikir konservasi
Di atas telah disebutkan bahwa perkembangan intelektual anak pada tahap operasional konkrit salah satunya adalah memiliki pemahaman konservasi. Secara umum prinsip konservasi dapat dinyatakan bahwa selama suatu obyek (benda) tidak ditambah atau dikurangi, maka karakteristik-karakteristik tertentu dari obyek (benda) itu tidak berubah (tetap sama) meskipun pada obyek (benda) itu telah dilakukan transformasi-transformasi.
Menurut Carin & Sund (1989: 34) terdapat tujuh jenis konservasi yang berkembang di dalam struktur kognitif anak pada tahap operasional konkrit. Ketujuh jenis konservasi itu adalah:
1) Konservasi substansi atau kuantitas zat padat, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6 - 7 tahun; "Banyaknya zat suatu obyek akan tetap sama meskipun bentuknya diubah". Sebungkus kerupuk tidak akan bertambah atau berkurang banyaknya meskipun dihancurkan. Sebuah mangga tidak akan bertambah banyak meskipun diiris kecil-kecil.
2) Konservasi panjang, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6 - 7 tahun; "Panjang suatu obyek akan tetap sama meskipun bentuknya diubah". Seekor semut akan menempuh jarak yang sama pada seutas kawat, baik kawat itu dalam keadaan lurus maupun dibengkok-bengkokkan.
3) Konservasi kuantitas kontinyu atau kuantitas zat cair, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6-7 tahun; "Jumlah suatu zat cair dalam suatu bejana adalah tetap meskipun dipindahkan ke bejana-bejana lain yang berlainan ukuran"
4) Konservasi bilangan atau jumlah, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6,5 - 7 tahun; "Banyaknya elemen suatu obyek adalah tetap meskipun tempatnya diubah". Jumlah kelereng pada mangkuk tidak akan berubah jumlahnya meskipun dipindahkan ke dalam gelas ukuran.
5) Konservasi luas, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 7 tahun; "Luas suatu obyek yang ditutup dengan suatu bangun geometris, akan tetap sama dengan cara bagaimanapun menutupnya". Luas beberapa petak yang tertutup oleh sejumlah kartu remi akan tetap sama meskipun cara menutupnya berbeda-beda.
6) Konservasi berat, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 9 - 12 tahun; "Berat suatu obyek di suatu tempat adalah tetap meskipun bentuknya berubah". Berat planit bumi adalah tetap meskipun bentuknya dari zaman ke zaman berubah.
7) Konservasi volume, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 11 - 12 tahun lebih. "Volume suatu zat akan tetap sama meskipun wadah yang ditempatinya berubah".
Sementara hasil penelitian lain yang dilakukan Piaget dkk. dalam Good (1977:108) mengungkapkan 11 jenis konservasi pada tahap ini. Kesebelas jenis konservasi tersebut adalah:
1) Konservasi bilangan atau jumlah, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6-8 tahun;
2) Konservasi paralelisme (parallelism), pada saat anak rata-rata berusia sekitar 9-11 tahun;
3) Konservasi sudut, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 10-12 tahun;
4) Konservasi jarak, pada saat anak berusia rata-rata 7-8 tahun;
5)Konservasi panjang, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6-8 tahun;
6) Konservasi luas, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 8-11 tahun;
7) Konservasi volume bagian dalam (internal volume), pada saat anak rata-rata berusia sekitar 9-11 tahun;
8) Konservasi pemindahan volume (displacement volume), pada saat anak rata-rata berusia sekitar 11-15 tahun;
9) Konservasi kecepatan yang sama (uniform speed), pada saat anak rata-rata berusia sekitar10-12 tahun;
10) Konservasi kuantitas kontinyu, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 8-10 tahun;
11) Konservasi berat, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 10-12 tahun.
Carin & Sund mencurahkan perhatiannya pada tujuh jenis konservasi, sedangkan Good mengungkap konservasi lainnya. Dari kedua literatur tersebut terdapat perbedaan usia anak pada saat memiliki pemahaman konservasi hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan faktor sosial, budaya, dan pengalaman belajar suyek yang diteliti (La Maronta Galib, 1992: 97). Penguasaan konservasi merupakan hal yang penting untuk membekali siswa supaya mampu/cakap dalam belajar (Carin & Sund, 1989: 34). Oleh karena itu dalam pengalaman belajar, siswa perlu diberi tugas-tugas (task) yang menyangkut konservasi supaya dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah konservasi.
Kemampuan berpikir anak pada tujuh jenis konservasi di atas dapat diungkap dengan memberi tugas (task) konservasi seperti berikut. Pertama, pada konservasi substansi atau kuantitas zat padat; anak dihadapkan kepada dua buah plastisin yang sama besar. Kemudian salah satu dari plastisin itu diubah bentuknya dan anak diberi suatu pertanyaan mengenai kuantitas plastisin yang diubah bentuknya dengan yang tidak diubah, supaya anak memberikan jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi kuantitas zat padat akan menjawab bahwa plastisin sama banyaknya karena, misalnya hanya diubah bentuk atau karena plastisinnya tetap yang tadi.
Kedua, pada konservasi kuantitas kontinyu atau kuantitas zat cair; anak dihadapkan kepada dua buah gelas yang sama besar dan berisi air sama banyak, kemudian air dari salah satu gelas dipindahkan ke dalam mangkuk. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai kuantitas air yang ada di dalam mangkuk dengan yang ada di dalam gelas, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi kuantitas cat cair akan menjawab bahwa banyaknya air adalah sama karena, misalnya airnya yang tadi juga atau karena hanya dipindahkan saja.
Ketiga, pada konservasi panjang; anak dihadapkan kepada dua potong kawat yang panjangnya sama, kemudian salah satu kawat diubah bentuknya menjadi sebuah lingkaran. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai panjang kawat yang berbentuk lingkaran dengan panjang kawat yang tidak diubah bentuk, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi panjang akan menjawab bahwa panjang kawat berbentuk lingkaran sama panjang dengan kawat yang tidak diubah bentuk karena, misalnya kawatnya hanya dilengkungkan dan tidak dipotong.
Keempat, pada konservasi bilangan atau jumlah; anak dihadapkan kepada dua kumpulan kancing yang jumlahnya sama, kemudian salah satu kumpulan kancing disimpan tersebar dalam tempat yang luas. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai jumlah kancing yang tersebar pada tempat yang luas dengan kancing yang terkumpul, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi jumlah akan menjawab bahwa jumlah kancing pada dua tempat yang berbeda adalah sama karena misalnya, kancingnya masih yang tadi.
Kelima, pada konservasi luas; anak dihadapkan kepada dua lembar kertas dengan bentuk dan ukuran yang sama (misalnya daerah persegi), kemudian salah satu kertas diubah bentuk menjadi daerah segitiga yang terbentuk dari dua daerah segitiga. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai luas daerah segitiga dengan luas daerah persegi, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi luas akan menjawab bahwa luas daerah segitiga (luas jumlah dua daerah segitiga) sama dengan luas daerah persegi karena misalnya, bentuk daerah segitiga dibentuk dengan mengubah daerah persegi.
Keenam, pada konservasi berat; anak dihadapkan kepada dua buah plastisin yang sama berat. Kemudian salah satu plastisin diubah bentuknya dan anak diberi suatu pertanyaan mengenai berat kedua plastisin, supaya anak memberi jawaban beserta alasanya. Anak yang menguasai konservasi berat akan menjawab bahwa kedua plastisin sama beratnya karena misalnya, tidak ada plastisin yang diambil.
Ketujuh, pada konservasi volume; anak dihadapkan kepada sebuah plastisin dan sebuah gelas ukur berisi air, kemudian plastisin dicelupkan kedalam gelas berisi air dan mengamati perubahan permukaan airnya, berikutnya plastisin diubah bentuk dan dicelupkan lagi pada gelas yang berisi air tadi serta mengamati perubahan permukaan air di dalam gelas . Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai volume/isi plastisin sebelum dan sesuadah diubah bentuk, supaya memberi jawaban beserta alasannya. Anak yang memiliki konservasi volume/isi akan menjawab bahwa plastisin sebelum dan sesudah diubah bentuk volume/isi nya sama karena misalnya, plastisinnya tidak ditambah atau dikurang.
Memasukkan masalah-masalah konservasi dalam kegiatan belajar sains dapat memunculkan tiga aspek kemampuan berpikir logis anak yaitu kemampuan berpikir identitas (identity), kompensasi (compensation), dan reversibel (reversibility) (Labinowicz, 1980: 73; Woolfolk & Nicolich, 1980: 58). Kemampuan berpikir identitas (identity), adalah kemampuan memahami suatu obyek (benda) yang jika tidak ditambah atau dikurang maka materinya akan tetap (sama) walaupun dilakukan transformasi-transformasi. Kemampuan berpikir kompensasi (compensation), adalah kemampuan memahami bahwa materi suatu zat (zat cair) yang tidak ditambah atau dikurang hanya berubah bentuknya apabila ditempatkan pada tempat yang berbeda-beda. Kemampuan berpikir reversibel, adalah kemampuan memahami bahwa suatu obyek (benda) dapat dikembalikan seperti semula karena pada waktu dilakukan transformasi-transformasi tidak ditambah atau dikurang.
Belajar Sebagai Peningkatan Kemampuan Berpikir
Belajar merupakan suatu proses dalam diri seseorang yang berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman (Gagne dalam Ratna W. Dahar, 1989: 11). Menurut Piaget, perubahan yang dimaksud adalah perubahan kemajuan dalam segi intelektual (berpikir). Sedangkan pengalaman adalah kegiatan belajar. Untuk anak usia SD pengalaman didapat melalui pengamatan pada benda konkrit (Carin & Sund, 1989: 29-30) dan kegiatan memanipulasi benda (Skolnick et al., 1988: 52). Dalam peristiwa ini anak melakukan proses-proses fisik seperti mengamati hal-hal yang ada pada obyek untuk menemukan fakta yang ada pada obyek tersebut (pengalaman fisik). Fakta-fakta yang ditemukan dari hasil pengamatan terhadap obyek kemudian diolah oleh subyek dengan tujuan, misalnya mencari hubungan-hubungan, pengertian, pemahaman dan penerapan pengetahuan tentang objek (pengalaman logika matematika). Proses ini merupakan kegiatan berpikir. Dalam setiap kegiatan belajar selalu ada unsur-unsur tersebut, oleh karena itu kegiatan belajar dengan kondisi memperkaya pengalaman yang bermakna akan memperkaya kemampuan berpikir (Carin & Sund, 1989: 22).
Siswa yang aktif belajar akan memperoleh informasi yang fungsional (Tyler, 1949: 72). Hal ini bermanfaat bagi siswa agar dapat menyelesaikan permasalahan. Untuk itu kegiatan belajar siswa dilaksanakan dalam kelompok belajar karena dengan cara ini dapat membantu siswa berpikir dan menyelesaikan masalah bersama-sama, serta berhasil menyelesaikan tugas-tugas (Costa et al., 1988: 177; O'Leary & Dishon, 1988: 179).
Karena karakteristik Sains yang cenderung rasional dan empirik, maka tidak secara otomatis keempat jenis psikologi ini berperan langsung dalam pembelajaran Sains. Jenis psikologi yang dewasa ini nampak dominan dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah -termasuk SD- adalah psikologi behaviorisme, kognitif dan humanisme. Oleh karena itu dalam buku ini ketiga jenis psikologi tersebut akan diutamakan dielaborasi ke dalam pembelajaran Sains pada topik-topik lainnya terutama pada topik Implementasi Teori Piaget dalam Pembelajaran Sains SD, serta pada topik-topik model pembelajaran. Penjelasan lebih lanjut tentang konsepsi manusia dalam psikologi, lebih banyak dirujuk dari buku Psikologi Komunikasi (Rosda Karya, Jaluddin Rakhmat).
Konsepsi Dasar Manusia dalam Psikoanalisa
Pada mata kuliah yang terkait dengan psikologi pendidikan Anda sudah pernah berkenalan dengan nama Sigmund Freud, pendiri psikoanalisa. Ia adalah orang pertama yang berusaha merumuskan psikologi manusia. Psikoanalisa memfokuskan kajiannya kepada totalitas kepribadian manusia, bukan pada bagian-bagian yang parsial. Menurut Freud, perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga sub-sistem dalam kepribadian manusia: Id, Ego, dan Superego. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia - pusat instink atau hawa nafsu. Ada dua instink dominan: (1) Libido atau eros, instink reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif; (2) Thanatos, instink destruktif dan agresi. Termasuk ke dalam kelompok pertama adalah segala sesuatu yang mendatangkan kenikmatan, semisal kasih ibu, pemujaan pada Tuhan, cinta diri (narcisism), lapar, dan dorongan seksual. Sedangkan yang termasuk kelompok kedua antara lain desakan marah, kebencian, irihati, keinginan merusak, membunuh, dan peperangan. Id bergerak dengan prinsip kesenangan, ingin segera memenuhi kebutuhan, egoistis, tidak bermoral, dan tidak mau tahu dengan kenyataan.
Id hanya kuat melahirkan keinginan tetapi tidak mampu memu-askannya. Subsistem yang kedua - ego- berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan realitas di dunia luar. Ego adalah unsur rasional dan realistis. Ego lah yang mengendalikan Id secara umum. Unsur lain yang mengendalikan Id adalah moral. Unsur moral dalam pertimbangan terakhir tindakan manusia disebut Freud sebagai superego.
Superego adalah polisi kepribadian, hati nurani (conscience) - mewakili yang ideal. Ia merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakat. Ia mendorong ego untuk menekan dan mengendalikan desakan hasrat dari Id yang tidak normal ke dalam bawah sadar. Jika ego menyerah pada Id dan menghianati superego maka akan tumbuh perasaan bersalah. Sebaliknya jika Id tidak dipenuhi akan timbul konflik, frustasi atau kete-gangan. Untuk mengatasi hal itu, lahirlah pertahan ego dengan cara mendistorsi (mengabaikan, menganggap tidak ada, merumuskan cara padang baru) realitas. Id dan superego berada di dalam bawah sadar manusia; sedangkan ego berada di tengah-tengah menjembatani antara Id dan superego. Secara singkat, dalam psikoanalisa perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (Id), komponen psikologis (ego), dan komponen sosial (superego); atau unsur animal, rasional dan moral. Dalam pandangan psikoanalisa manusia dilukiskan sebagai makhluk yang digerakkan oleh desakan keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens).
Karena psikoanalisa lebih banyak berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak nampak, maka tidak banyak yang dapat kita implementasikan dari psikoanalisa ke dalam pembelajaran Sains. Namun secara umum harus senantiasa disadari oleh setiap guru SD bahwa dalam mengikuti pembelajaran di kelas -termasuk pembelajaran Sains- setiap siswa memiliki potensi untuk menumpahkan segala desakan Id baik yang bersifat positif maupun negatif. Desakan positif antara lain mereka sangat membutuhkan kasih sayang baik dari guru maupun teman, ingin bermain-main, atau desakan biologis seperti lapar. Desakan negatif, antara lain adalah kecenderungan merusak, ribut, atau mengganggu teman. Untuk mengatasi hal itu guru dituntut mampu menyajikan pembelajaran Sains yang memungkinkan siswa senang, bermain, bekerjasama dengan temanya, mengurangi kadar off-task time dan meningkatkan on-task time bagi siswa, serta secara proporsional menerapkan aturan-aturan dan kegiatan yang mengarah kepada pembentukan disiplin dan sikap siswa yang positif. Untuk mencapai hal itu sekurang-kurangnya guru harus:
(1) memenuhi kebutuhan biologis anak yang tidak dapat digantikan dengan lainnya (misalnya rasa lapar dan haus);
(2) memberikan penjelasan atau alasan-alasan rasional dan
(3) membuat tata tertib untuk mencegah tindakan-tindakan destruktif siswa selama pembelajaran; misalnya menetapkan aturan main atau kontrak kegiatan sebelum siswa melakukan praktikum agar praktikum berjalan lancar dan kecenderungan siswa merusak alat relatif dapat diantisipasi.
Konsepsi Dasar Manusia dalam Behaviorisme
Berbeda dengan psikoanalisa, Behaviorisme menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Sekarang, teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilku manusia -kecuali instink- adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakuknya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan (stimulus). Dari sinilah timbul konsep "manusia mesin" (Homo Mechanicus). Dalam pandangan behaviorisme manusia adalah binatang tingkat tinggi dengan "jiwa" berupa tabularasa.
Ada sejumlah konsep belajar yang dikembangkan oleh kaum behavioris untuk mengefektifkan pengaruh lingkungan terhadap hasil belajar. Metode yang paling primitif adalah metode pelaziman klasik (classical conditioning). Diambil dari Sechenov (1829-1905) dan Pavlov (1849-1936), pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli terkondisi (conditioned stimulus) dengan stimuli tertentu yang tak terkondisikan (unconditioned stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral menghasilkan perilaku tertentu yang terkondisikan. Sejalan dengan Pavlov adalah Hukum Pengaruh (Law of Effect) dari E.L. Thorndike.
Hukum pengaruh mengemukakan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip, akan meningkat. Sebaliknya jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip, akan menurun. Jadi, konsekuensi-konsekuensi dari perilaku seseorang pada suatu saat, memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang itu selanjutnya.
Pelaziman klasik dan hukum pengaruh akan menjelaskan bahwa bila setiap kali siswa berinisitaif mencoba alat Sains guru selalu menyebutnya nakal, siswa akan tidak berminat lagi untuk mencoba alat saat praktikum Sains. Bila pembelajaran Sains selalu disertai dengan soal-soal yang memusingkan siswa, kehadiran pelajaran Sains akan mencemaskan siswa. Sebaliknya jika munculnya pembelajaran Sains di kelas senantiasa berbarengan dengan terciptanya suasana bermain yang menggairahkan siswa, pembelajaran Sains akan dirindukan siswa.
Skiner menambahkan jenis pelaziman yang lain. Ia menyebutnya operant conditioning. Pelaziman jenis ini berkaitan dengan proses memperteguh respon yang baru dengan mengasosiasikannya pada stimuli tertentu berkali-kali. Oleh karenya pelaziman operant sering menggunakan peneguhan (reinforcement) untuk memperkuat hasil belajar yang diharapkan. Pada operant conditioning inilah dikenal prinsip ganjaran (reward) dan hukuman (punishment). Jika setiap kelompok yang paling tertib dalam melakukan praktikum selalu dipuji guru, maka kelompok tersebut akan cenderung mempertahankan atau bahkan meningkatkan kinerjanya. Jika setiap seorang siswa tiba-tiba mengajukan pertanyaan pada saat guru mendemonstrasikan alat atau menjelaskan konsep, kemudian guru meng-abaikannya atau bahkan menghardiknya, maka keengganan siswa untuk bertanya akan makin kuat menjadi perilaku siswa.
Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Pelaziman klasik dan operant tidak dapat menjelaskan dengan pasti mengapa anak begitu cepat belajar berbicara dalam bahasa ibunya. Menurut Bandura, belajar terjadi karena peniruan (imitation). Kemampuan meniru respons adalah penyebab utama belajar.
Teori belajar sosial memiliki beberapa konsep dasar. Konsep-konsep tersebut adalah:
(1) Pemodelan (modelling), seseorang belajar dengan cara meniru perilaku orang lain dan pengalaman vicarious yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain;
(2) Fase Belajar, terdiri dari fase perhatian terhadap model (attentional phase), fase mengendapkan hasil memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention phase), fase menampilkan ulang perilaku model oleh pebelajar (reproduction phase) dan fase motivasi (motivation phase) ketika siswa berkeinginan mengulang-ulang perilaku model yang mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif dari lingkungan;
(3) Belajar Vicarious, seseorang belajar dengan melihat apakah orang lain diberi ganjaran atau hukuman waktu terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu;
(4) Pengaturan-sendiri (self-regulation), manusia mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri.
Teori belajar Bandura dapat dijadikan landasan tentang pentingnya penggunaan metode demonstrasi oleh guru atau kerja kelompok siswa dalam pembelajaran Sains. Teori ini juga sangat efektif untuk dijadikan landasan dalam menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada siswa berkenaan dengan nilai-nilai instrinsik dari mata pelajaran Sains, terutama dengan penerapan teori Modelling. Melalui ini siswa akan melakukan peniruan terhadap apa yang diamatinya yang nampak pada kinerja guru dan teman sebaya di kelas.
Konsepsi Dasar Manusia dalam Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif berakar pada filsafat rasionalisme. Kaum rasionalis mempertanyakan apakah betul bahwa penginderaan manusia, melalui pengalaman langsung, sanggup memberikan kebenaran. Dalam banyak hal alat indera sering tidak akurat dalam memberikan informasi. Bukankah mata Anda mengatakan bahwa kedua rel kereta api yang sejajar itu bertemu di ujung sana? Bukankah mata Anda memberikan stimuli bahwa pada batas permukaan air-udara sebatang tongkat yang tercelup sebagian jika diamati secara horizontal nampak patah? Sudah barangtentu Anda tidak menerima stimulus tersebut sebagai pengalaman belajar yang benar! Jika manusia tunduk sepenuhnya pada perlakuan lingkungan maka manusia akan memperoleh banyak hasil belajar yang superfisial (dangkal) dalam hal kebenaran.
Tokoh-tokoh psikologi kognitif sepakat bahwa jiwa lah (mind) yang menjadi alat utama pengetahuan bukan alat indera. Jiwa mengolah informasi pengalaman inderawi secara aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna. Tidak semua stimuli kita terima begitu saja. Stimuli melahirkan respon sesuai dengan tujuan dan pola yang ditentukan oleh pikiran. Tetapkanlah tujuannya: operasi pertambahan, dan stimuli "dua dan tiga" menimbulkan respons "lima". Tetapkan tujuannya perkalian, dan stimuli yang sama, sensasi auditif yang sama, "dua dan tiga" melahirkan respons "enam". Sensasi dan pikiran adalah pelayan, mereka menunggu panggilan kita, mereka tidak datang kecuali kalau kita butuhkan. Ada tuan yang menyeleksi dan mengarahkan," Demikian dipaparkan Jalaluddin Rakhmat (1989:30) .
Rasionalisme sebagai akar psikologi kognitif tampak jelas pada aliran psikologi Gestalt di awal abad XX. Para psikolog Gestalt, seperti juga kebanyakan psikoanalis, adalah orang-orang Jerman: Meinong, Ehrenfels, Kohler, Wertheimer, dan Koffka. Menurut mereka, manusia tidak memberikan respons kepada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan. Sebelum memberikan respons, manusia menangkap dulu "pola" stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang bermakna. Pola ini disebut Gestalt. Huruf "I" akan dianggap sebagai angka satu dalam rangkaian "I, II, III, IV," tetapi menjadi huruf "el" dalam rangkaian hurup pada kata "AIasan" atau huruf "i" dalam "Indonesia". Manusialah yang menentukan makna stimuli itu, bukan stimuli itu sendiri. Di kalangan ilmu komunikasi terkenal proposisi "Words don't mean, people mean", kata-kata tidak bermakna, oranglah yang memberi makna. (Jalaluddin Rakhmat, 1989:31)
Psikologi Gestalt melalui Wertheimer (1923) mengembangkan prinsip-prinsip (teori gestalt) berkenaan dengan persepsi kognitif terhadap obyek sebagai berikut. Pertama, Hukum Kedekatan (The Law of Proximity), elemen visual (terinderai) yang saling berdekatan satu sama lain akan dipersepsi sebagai bagian dari suatu kelompok. Informasi OOO OOO OOO secara segera akan dipersepsi sebagai tiga kelompok masing-masing beranggotakan tiga O, dari pada sebagai satu kelompok dengan anggota sembilan O. Dalam mengefektifkan kegiatan demonstrasi atau praktikum Sains, guru yang akan menyajikan sejumlah obyek yang harus diobservasi siswa semestinya mempertimbangkan betul peletakan obyek-obyek tersebut (benda atau gambar) sedemikian rupa sehingga observasi siswa lebih terfokus dan efektif. Jauhkanlah obyek yang tidak perlu diobservasi dari obyek yang diobservasi.
Kedua, Hukum Kesamaan (The Law of Similarity). Elemen-elemen visual yang memiliki kesamaan dalam banyak segi seperti bentuk dan ukuran akan cenderung dipersepsi sebagai satu kelompok yang sama. Hukum ini dapat diimplementasikan dalam mengefektifkan upaya guru mengembangkan keterampilan proses mengklasifikasi bagi siswa. Jika kepada siswa disajikan sejumlah benda (misalnya gambar-gambar hewan, tumbuhan, dan makhluk tak hidup) dengan beragam bentuk, ukuran, dan warna kemudian guru meminta siswa untuk mengklasifikasikan benda-benda tersebut secara bebas, maka siswa akan mengklasifikasikannya berdasarkan kesamaan segi yang nampak menonjol. Apabila guru meng-inginkan siswa mengklasifikasikan secara cepat berdasarkan karakteristik tertentu (misalnya hewan) maka sajikanlah gambar-gambar hewan tersebut dengan warna yang mencolok dan sama.
Ketiga, Hukum Arah Kelaziman (The Law of Common Direction); benda-benda atau sesuatu akan dipahami sebagai suatu kelompok (kesatuan) apabila nampak sebagai suatu rangkaian kontinum/sempurna yang mengarah kepada bentuk yang lebih dikenal.
yang membagi dua sebuah lingkaran. Sangat kecil kemungkinan dipersepsi sebagai dua belahan terpisah dari setengah lingkaran yang digabungkan oleh sebuah garis.
Keempat, Hukum Kesederhanaan (The Law of Simplicity); apa yang kita persepsi akan diorganisasikan ke dalam suatu bentuk keteraturan yang sederhana.
Dua hukum terakhir dari prinsip persepsi Gestalt dapat diimplementasikan dalam pembelajaran Sains SD terutama untuk mengop-timalkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses memprediksi, melakukan ekstrapolasi, membaca grafik dan membuat kesimpulan.
Dari Gestalt kita mengetahui bahwa pada dasarnya manusia itu berpikir holistik (utuh-menyeluruh) terlebih pada usia kanak-kanak. Pada masanya, kanak-kanak belum dapat secara efektif berpikir parsial, spesifik, dan terkotak-kotak. Berdasarkan itu maka pembelajaran Sains di SD semestinya disajikan dalam bentuk yang holistik pula terpaut dengan dunia nyata anak dan mata pelajaran yang lain. Untuk itu lah, para pakar pendidikan dewasa ini menggagaskan tepatnya pembelajaran terpadu bagi anak SD.
Perlu juga diperhatikan bahwa kemampuan persepsi siswa terhadap informasi dalam pembelajaran Sains turut dipengaruhi oleh tingkat atensi (pehatian)nya terhadap obeyek-obyek yang diobservasi. Gerakan, intensitas stimuli, kebaruan (novelty), dan perulangan adalah faktor-faktor yang dapat dimanipulasi guru untuk meningkatkan atensi siswa terhadap obyek observasi.
Benda-benda yang bergerak cenderung menarik perhatian. Obyek yang ada di tangan guru yang digerakkan secara proporsional akan memancing perhatian guru. Movie-film akan lebih menarik siswa dari slide-film yang monoton. Ukuran suatu obyek yang cukup besar di antara obyek-obyek lain yang berukuran kecil, gambar berwarna merah menyala di antara gambar-gambar lain yang berwarna putih, akan lebih diperhatikan siswa karena merupakan obyek yang memiliki intensitas stimuli yang tinggi. Demikian halnya alat-alat peraga atau media yang beragam/berbeda dari biasanya yang disediakan guru dalam pembelajaran merupakan hal yang memberi kesan kebaruan yang akan menarik minat siswa. Sedangkan, obyek (gambar, benda, suara, kalimat, istilah) yang disajikan berulang-ulang akan mendapat perhatian utama dari siswa.
Yelon & Weinstein (1977) menyarankan langkah-langkah umum untuk mengefektifkan dan meningkatkan kemampuan persepsi siswa sebagai berikut.
1. Tonjolkanlah perbedaan dan ciri khusus dari obyek-obyek yang akan diobservasi dan dipersepsi siswa. Buatlah latar belakang gambar benar-benar berbeda dari gambarnya.
2. Pada tahap awal gunakan contoh-contoh yang telah dikenal siswa sehari-hari.
3. Mantapkan tujuan dan keinginan siswa dengan cara menanyai mereka, apa yang ingin didapat/dicari dalam kegiatan demonstrasi atau percobaan.
4. Contoh-contoh benda, gambar atau simbol yang memiliki karak-teristik atau makna yang sama diletakkan berdekatan.
5. Dalam kegiatan pembelajaran yang menuntut siswa mengklasifikasikan sesuatu, sajikan lah sesuatu itu dengan menggunakan prinsip kesamaan.
Teori Piaget tentang Perkembangan Kognitif
Selain keterampilan laboratoris atau motoris, jenis keterampilan lain yang juga penting diperoleh siswa dari belajar Sains adalah keterampilan intelektual dalam menggunakan nalar. Untuk mencapai keterampilan minimal tersebut guru harus menyajikan pembelajaran Sains yang memberikan kemampuan-kemampuan tertentu yang dapat dialihgunakan. Kemampuan itu antara lain berupa
(a) kemampuan mengajukan pertanyaan (apa, bagaimana, mengapa) dan mencari jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan,
(b) kemampuan mengajukan gagasan berdasarkan pengalaman dan penalaran terhadap kejadian di sekitarnya dan
(c) kemampuan bertindak berdasarkan nalar serta bertanggungjawab terhadap keteraturan sistem di alam.
Siswa akan memiliki kemampuan berpikir yang baik apabila siswa memiliki banyak pengalaman belajar. Carin & Sund (1989:22) menyatakan bahwa memperkaya pengalaman yang bermakna menimbulkan kaya akan berpikir. Sementara Tyler (1949:72) berpendapat bahwa pengalaman belajar sangat membantu siswa dalam memperoleh informasi yang fungsional sehingga akan sangat bermanfaat dalam mempersiapkan siswa menghadapi permasalahan. Pembelajaran atau pengalaman belajar yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah akan mewujudkan pengembangan kemampuan berpikir. Oleh karena itu mengajar untuk berpikir, berarti memberikan kesempatan bagi siswa untuk melatih penggunaan konsep-konsep dan skema-skema dasar fenomena-fenomena berpikir. Pengalaman ini diperlukan supaya siswa memiliki struktur konsep yang dapat memberikan solusi terhadap sesuatu permasalahan. Dengan kata lain kemampuan berpikir akan membekali siswa dengan mekanisme yang diperlukan untuk menganalisis suatu permasalahan (Tyler, 1949: 68-71).
Seperti diungkapkan di muka, Sains sebagai mata pelajaran di sekolah dasar mulai diberikan di kelas III. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan psikologis. Usia anak kelas III SD pada umumnya berada pada rentang usia 8-13 tahun, yang oleh Oswald Kroh (dalam Kartini, 1990:137) dimasukkan pada masa realisme-kritis. Pada periode ini pengamatan anak bersifat realistis dan kritis. Anak pada usia ini sudah dapat:
a) mengadakan sintese-logis,
b) menghubungkan bagian-bagian dari suatu kejadian menjadi satu kesatuan atau menjadi satu struktur,
c) memilih dan mengolah informasi untuk digunakan mengambil keputusan (Fensham; Horsley, et al.; Yager dalam Panuel Adinawar N., 1997:7).
Sintese logis yaitu suatu kemampuan yang dimiliki anak dalam menjawab suatu permasalahan lengkap dengan alasan yang dapat diterima. Hal ini dapat terjadi karena munculnya pengertian, wawasan dan akal yang sudah mencapai taraf kematangan.
Berdasarkan tinjauan psikologis di atas maka pembelajaran Sains di SD diutamakan pada cara membangun pengetahuan berdasarkan penga-matan, pengalaman, penyusunan gagasan, pengujian melalui suatu perco-baan atau penyelidikan dan pencarian informasi.
Teori Dasar Perkembangan Kognitif
Menurut psikologi kognitif, manusia (organisme) memiliki cara tersendiri untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989:150; Good, 1977:149; Woolfolk & Nicolich, 1980:49) kemajuan atau perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi pada aktivitas kognitif organisme yaitu, organisasi dan adaptasi. Organisasi memberi kemampuan pada organisme untuk mensistematikkan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Dengan organisasi struktur fisik dan struktur psikologis diintegrasikan menjadi struktur intelektual tingkat tinggi.
Semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk beradaptasi. Arti adaptasi disini adalah adaptasi terhadap informasi yang datang dari "luar" ke dalam kognisi. Adaptasi ini dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang datang dari luar. Asimilasi dapat diartikan sebagai penyerapan dan pengintegrasian pengalaman-pengalaman baru kepada stuktur intelektual yang sudah ada. Dalam istilah perkembangan intelektual, anak telah mengalami proses belajar. Karena disini anak telah dapat menentukan hubungan antara pengalaman yang telah ia miliki dengan masalah yang datang dari luar (stimulus) dan merespon stimulus tersebut sehingga anak menjadi paham.
Stimulus yang diterima tidak selalu dapat diasimilasikan dengan struktur yang ada karena, tidak ada struktur yang tepat untuk stimulus itu. Dalam hal seperti ini anak dapat berbuat salah satu atau keduanya dari cara sebagai berikut: a) mengganti struktur yang lama dengan struktur yang baru, b) mengubah struktur yang ada sehingga stimulus baru menjadi cocok. Proses ini disebut akomodasi. Jadi dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respon terhadap masalah yang datang dari luar.
Menurut Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989:151; Good, 1977:149; Woolfolk & Nicolich, 1980:49) adaptasi terbentuk karena adanya proses asimilasi dan akomodasi. Kedua proses tersebut fungsional terhadap perkembangan kognitif yang senantiasa berfungsi dan komplementer pada setiap tingkat perkembangan intelektual. Bila proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi pada lingkungannya maka akan terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium). Ketidakseimbangan ini menimbulkan akomodasi, yaitu terjadinya perubahan struktur yang ada atau timbul struktur yang baru sampai mencapai keseimbangan. Peristiwa ini disebut ekuilibrasi, yaitu proses perubahan mental seseorang dari keadaan tidak seimbang menjadi seimbang. Namun keadaan ini tidak statis, selalu ada pertumbuhan intelektual yang berupa proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keseimbangan (disequilibrium dan equilibrium). Bila hal ini terjadi pada individu maka ia selalu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi dibanding dengan sebelumnya.
Proses asimilasi dan akomodasi dapat diterapkan pada kegiatan belajar di kelas. Adakalanya perkembangan kognitif siswa sebagian tergantung pada akomodasi. Disini siswa harus masuk pada area yang tidak dikenal untuk dapat belajar. Ia tidak dapat hanya mempelajari apa yang telah diketahuinya, dengan kata lain ia tidak dapat hanya mengandalkan asimilasi. Bila dalam proses belajar siswa tidak mendapatkan hal-hal yang baru, siswa mengalami "over asimilation", dan bila dalam proses belajar siswa tidak mengerti, berarti siswa mengalami "over accomodation". Kedua hal ini tidak memperlancar perkembangan kognitif siswa, maka perlu diusahakan adanya keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Faktor-faktor Penunjang Perkembangan Kognitif
Berdasarkan hasil studi Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989: 157-158; Moh. Amien, 1987: 46; Woolfolk & Nicolich, 1980: 50-51), terdapat lima faktor yang mempengaruhi seseorang pindah tahap perkembangan intelektualnya. Kelima faktor itu adalah: kematangan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), pengalaman logika matematika (logico-methematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan ekuilibrasi (equilibration).
Kematangan yaitu proses perubahan fisiologis dan anatomis, proses pertumbuhan tubuh, sel-sel otak, sistem saraf dan manifestasi lainnya yang mempengaruhi perkembangan kognitif. Kematangan mempunyai peran yang penting dalam perkembangan intelektual. Hal ini ditunjukkan oleh hasil beberapa penelitian yang membuktikan adanya perbedaan rata-rata usia anak pada tahap perkembangan yang sama pada satu masyarakat dengan masyarakat lain yang berbeda (La Maronta Galib, 1992: 36-43 & 97; Harry, 1983: 40 & 97).
Pengalaman fisik yaitu pengalaman yang melibatkan seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan fisik, memanipulasi obyek-obyek di sekitarnya dan membuat abstraksi dari obyek tersebut. Melalui pengalaman fisik akan terbentuk pengetahuan fisik dalam diri individu, karena pengetahuan fisik merupakan pengetahuan tentang benda-benda yang ada "di luar" dan dapat diamati dalam kenyataan eksternal (Carin & Sund, 1989:38; Kamii, 1978:36).
Pengalaman logika matematika yaitu pengalaman membangun hubungan-hubungan atau membuat abstraksi yang didapat dari hasil interaksi terhadap obyek. Dengan pengalaman logika matematika akan terbentuk pengetahuan logika matematika dalam diri individu. Pengetahuan logika matematika merupakan hubungan-hubungan yang diciptakan subyek dan diperlakukan pada obyek-obyek (Carin & Sund, 1989:38; Kamii, 1978:36).
Transmisi sosial yaitu proses interaksi sosial dalam menyerap unsur-unsur budaya yang berfungsi mengembangkan struktur kognitif. Hal ini dapat terjadi melalui informasi yang datang dari orang tua, guru, teman, media cetak dan media elektronik. Dengan adanya transmisi sosial akan terbentuk pengetahuan sosial dalam diri individu. Pengetahuan sosial merupakan pengetahuan yang didasarkan pada perjanjian sosial, suatu perjanjian atau kebiasaan yang dibuat oleh manusia (Carin & Sund, 1989:38-39; Kamii, 1978:37). Pengetahuan sosial dan pengetahuan fisik merupakan pengetahuan tentang isi yang bersumber dari kenyataan yang ada "di luar", sementara pengetahuan logika matematik mengkonstruksi keadaan nyata tersebut melalui pikiran.
Ekuilibrasi yaitu kemampuan untuk mencapai kembali keseimbangan selama periode ketidakseimbangan. Ekuilibrasi merupakan suatu proses untuk mencapai tingkat kognitif yang lebih tinggi melalui asimilasi dan akomodasi. Pada proses ini mengintegrasikan faktor-faktor kematangan, pengalaman fisik, pengalaman logika matematika, dan transmisi sosial (Kamii, 1978:48)
Dalam pembentukan pengetahuan, yang berperan sangat besar adalah faktor pengaturan sendiri (self-regulation) atau ekuilibrasi (equilibration). Berdasarkan hasil temuannya, Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989: 159) mengungkapkan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak. Oleh karena itu pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru kepada pikiran anak didiknya, tetapi melalui pemerolehan yang diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Terlebih lagi yang menyangkut pada pembentukan pengetahuan fisik dan pengetahuan logika matematik. Pengetahuan ini dibangun sendiri oleh anak melalui pengalaman dengan adanya peristiwa interaksi antara struktur kognisi awal yang dimilikinya dengan informasi dari lingkungan.
Konflik kognitif terjadi pada saat berlangsung interaksi antara konsepsi awal yang telah dimiliki anak dengan adanya fenomena-fenomena baru yang ditemui anak. Fenomena baru dengan konsepsi awal tidak dapat dintegrasikan begitu saja. Pengintegrasian memerlukan suatu modifikasi atau perubahan struktur kognitif anak agar mencapai keseimbangan. Peristiwa ini akan tetap terjadi selama anak menerima pengetahuan baru.
Di sekolah peristiwa ini terjadi melalui pembelajaran. Oleh karena itu konflik kognitif dapat diatasi dengan belajar, yang merupakan proses pengaturan sendiri (self regulation) dalam mencapai kesetimbangan/ ekuilibrasi (equilibration) untuk selanjutnya berakhir pada konstruksi pengetahuan oleh anak yang berdasarkan pengalaman melalui interaksi dengan obyek.
Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget (Carin & Sund, 1989:23-47; Ratna W. Dahar, 1989:152-156) perkembangan intelektual seseorang melalui empat tahap berurutan, yaitu:
a) tahap sensori motor dalam rata-rata usia sekitar 0-2 tahun,
b) tahap praoperasional dalam rata-rata usia sekitar 2-7 tahun,
c) tahap operasional konkrit dalam rata-rata usia sekitar 7-11 tahun, dan d) tahap operasional formal dalam rata-rata usia sekitar 11 tahun keatas.
Perubahan dari tahap yang satu ke tahap lain kecepatannya tidak pasti (berbeda) untuk masing-masing individu. Oleh karena itu bila anak yang berada pada tahap tertentu dapat dengan cepat berubah ke tahap berikutnya, maka perubahan yang terjadi boleh jadi disebabkan oleh adanya perbedaan latar belakang, kemampuan, ketangkasan, dan upaya anak. Penentuan rentang usia pun, tidak berlaku pasti, tetapi merupakan rata-rata. Meskipun demikian urutan tahap dalam melampaui satu tahap ke tahap berikutnya selalu sama, tidak ada individu yang loncat tahap. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan adanya individu yang tidak sampai ke tahap operasional formal. Inhelder dalam studi doktoralnya menemukan anak usia tahap operasional formal yang mentalnya terbelakang ternyata kemampuan intelektual tidak pada tahap operasional formal (Carin & Sund, 1989:24). Setiap tahap perkembangan ditandai pula oleh pola penalaran yang khas. Garis besar gambaran pola penalaran anak pada masing-masing tahap perkembangan diketahui dari ciri-ciri atau karakteristik sebagai berikut.
Tahap sensori motor adalah tahap pertama dalam perkembangan intelektual, pada tahap ini anak memiliki tingkah laku yang didominasi oleh gerakan-gerakan refleks atau bersifat motorik. Gerakan tersebut sebagian besar disebabkan oleh stimulus. Dominasi gerakan refleks pada tahap ini lambat laun berkurang seiring dengan berkembangnya daya pikir. Perkembangan ini didapat melalui pengalaman belajar merasakan dan mengenal obyek, sehingga pada akhir tahap ini anak dapat "membedakan". Misalnya; anak sudah tahu orang tuanya, nama-nama benda, binatang.
Tahap praoperasional adalah tahap kedua dalam perkembangan intelektual. Tahap ini merupakan tahap persiapan dalam pengorganisasian operasi konkrit. Tahap ini dapat dibagi ke dalam tahap berpikir pra-logis dan tahap berpikir intuitif. Tahap berpikir pra-logis berada pada rata-rata usia sekitar 2 - 4 tahun. Pada tahap ini anak memiliki penalaran transduktif yaitu suatu penalaran yang bergerak dari khusus ke khusus. Tahap berpikir intuitif berada pada rata-rata usia sekitar 4 - 7 tahun. Pada tahap ini anak dapat menilai dan mempertimbangkan atas dasar persepsi pengalaman sendiri, oleh karena itu anak pada tahap ini bersifat egosentris. Hal lain yaitu anak berpikir ireversibel, berpikir statis, dan concreteness.
Berpikir ireversibel yaitu belum dapat berpikir kebalikan dari cara berpikir semula. Artinya anak tidak mampu memahami suatu transformasi atau perubahan-perubahan urutan dalam suatu peristiwa. Berpikir statis adalah salah satu ciri anak pada tahap preoperasional. Dengan kata lain anak pada tahap ini tidak menggunakan macam-macam operasi, melainkan hanya tertuju pada satu dimensi serta tidak memperhatikan gerakan-gerakan perubahan. Concreteness adalah kemampuan berpikir anak masih berorientasi pada hal-hal yang konkrit. Anak belum mampu memahami hal-hal yang abstrak atau yang direpresentasikan secara verbal (Ratna W. Dahar, 1989:153; Good, 1977:153; Carin & Sund, 1989:27; Woolfolk & Nicolich, 1980:55-56). Pada akhir tahap ini merupakan saat transisi ke operasional konkrit, disini mungkin saja terjadi penguasaan konservasi panjang, bilangan, dan kuantitas.
Tahap operasional konkrit adalah tahap ketiga dari tahap perkem-bangan intelektual. Tahap ini berada pada saat anak-anak usia SD. Tahap ini merupakan permulaan berpikir rasional. Pada tahap operasional konkrit anak mampu berpikir logis melalui obyek-obyek konkrit, dan sulit memahami hal-hal yang hanya direpresentasikan secara verbal (Sund; Becker, Engelman & Thomas; Bolton; Beard & Hunt dalam La Maronta Galib, 1992:22). Peristiwa berpikir dan belajar anak pada tahap ini sebagian besar melalui pengalaman yang nyata (Carin & Sund, 1989:29) yang berawal dari proses interaksi anak dengan obyek (benda) bukan dengan lambang, gagasan ataupun abstraksi. Dengan kata lain anak-anak pada tahap ini belum mampu melakukan proses berpikir yang abstrak, belum mampu belajar dengan baik tentang proses sains yang abstrak (seperti tentang peristiwa photosintesa), serta selalu mengalami kesulitan dalam memahami konsep yang abstrak, seperti mempelajari konsep gravitasi (Carin & Sund, 1989:30). Meskipun demikian anak pada tahap ini memiliki operasi yang dapat dikembangkan yaitu operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, klasifikasi, kores-pondensi, penempatan urutan. Juga menguasai pengukuran dan konservasi volume, berat dan luas (Carin & Sund, 1989:30,37; Ratna W. Dahar, 1989:154; Good, 1977:106-109).
Disamping beberapa ciri yang telah disebutkan di atas, anak-anak tahap operasional konkrit sudah memperlihatkan kemampuan berpikir kombinativitas (combinativity), reversibilitas (reversibility), asosiatif (asso-siative), dan identitas (identity) (Ratna W. Dahar, 1989: 154; Woolfolk & Nicolich, 1980: 58). Kemampuan berpikir kombinativitas (combinativity) adalah kemampuan mengadakan berbagai kombinasi dari macam-macam hubungan. Contoh, anak dapat menyimpulkan bahwa A lebih besar dari C, apabila A lebih besar dari B dan B lebih besar dari C. Atau A sama dengan C, karena A sama dengan B dan B sama dengan C (pemahaman transitif).
Kemampuan berpikir reversibilitas (reversibility) adalah kemampuan berpikir atau melakukan operasi-operasi sebagai kebalikan dari cara berpikir semula. Operasi yang dapat dilakukan seperti operasi logis atau matematis yang dapat dihadapkan dengan operasi yang berlawanan. Contohnya, semua makhluk - semua makhluk tak hidup = semua makhluk tak hidup dan semua makhluk hidup + semua makhluk tak hidup = semua makhluk. Reversibilitas ini merupakan sifat esensial dalam sistem kognisi, penguasaannya, penting untuk dapat memahami konsep-konsep sains dan matematika (Piaget & Bruner, dalam La Maronta Galib, 1992: 23).
Kemampuan berpikir asosiatif (assosiative) adalah kemampuan untuk mencapai suatu jawaban dengan menggunakan beberapa cara yang menghubung-kan unsur-unsur yang terdapat dalam suatu objek atau peristiwa. Kemampuan berpikir ini misalnya ditunjukkan oleh kemampuan menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki orang tua; Tidak ada ikan yang hidup di darat, karena semua ikan yang ditemukan selalu bercirikan tempat hidupnya air.
Kemampuan berpikir identitas (identity) adalah kemampuan memahami sifat-sifat tertentu dari suatu objek yang tidak berubah bila tidak ditambah atau dikurangi. Dalam hal ini keadaan menjadi sama atau serupa dalam aspek-aspek tertentu meskipun telah dilakukan transformasi-transformasi. Kemampuan berpikir ini sangat berkaitan dengan kemampuan berpikir konservasi (ketetapan).
Mengacu pada teori di atas maka anak pada tahap operasional konkrit tidak mudah dikelabui oleh perbedaan-perbedaan persepsi seperti yang terjadi pada anak preoperasional. Oleh karena itu anak pada tahap operasional konkrit sudah memiliki pemahaman konservasi. Artinya anak pada tahap operasional konkrit sudah dapat melakukan perubahan-perubahan suatu "obyek" secara fisik, dan menyatakan bahwa perubahan bentuk, posisi, dan sebagainya tidak akan merubah jumlah proporsi obyek tersebut (Moh. Amien, 1987: 61; Woolfolk & Nicolich, 1980: 56). Namun demikian hasil penelitian di USA membuktikan bahwa sejumlah besar siswa sekolah menengah atas masih mempunyai kesulitan dalam memahami konservasi (Moh. Amien, 1987: 62).
Tahap operasional formal adalah tahap akhir dari perkembangan intelektual menurut Piaget, sebab setelah itu tidak terjadi lagi peningkatan kualitas intelektual. Berbeda dengan anak yang berada pada tahap sebelumnya, anak operasional formal mampu melakukan penalaran dengan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi, dan generalisasi-generalisasi. Artinya anak-anak operasional formal sudah bisa menggunakan operasi logisnya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat verbal, rumit, dan kompleks. Disini logika sudah menjadi alat berpikir anak ini sehingga ia mampu melakukan operasi terhadap operasi. Artinya anak bisa melakukan operasi dengan tidak mengacu pada obyek, tetapi pada sumber yang ditangkap dari relasi yang terkandung dalam informasi (operasi-operasi) yang diberikan dan menggunakannya untuk menemukan hubungan.
Dengan memperhatikan kemampuan-kemampuan tersebut, kita dapat membedakan anak yang berada pada tahap operasional formal dengan anak yang berada pada tahap sebelumnya. Misalnya untuk mengetahui tahap perkembangan anak yang dilakukan dengan memberi tugas (task) konservasi; reaksi dari anak tahap operasional konkrit berbeda dengan anak tahap operasional formal. Boleh jadi bagi anak tahap operasional formal tidak menanggapinya dengan serius karena baginya masalah tersebut sudah jelas.
Kemampuan Berpikir konservasi
Di atas telah disebutkan bahwa perkembangan intelektual anak pada tahap operasional konkrit salah satunya adalah memiliki pemahaman konservasi. Secara umum prinsip konservasi dapat dinyatakan bahwa selama suatu obyek (benda) tidak ditambah atau dikurangi, maka karakteristik-karakteristik tertentu dari obyek (benda) itu tidak berubah (tetap sama) meskipun pada obyek (benda) itu telah dilakukan transformasi-transformasi.
Menurut Carin & Sund (1989: 34) terdapat tujuh jenis konservasi yang berkembang di dalam struktur kognitif anak pada tahap operasional konkrit. Ketujuh jenis konservasi itu adalah:
1) Konservasi substansi atau kuantitas zat padat, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6 - 7 tahun; "Banyaknya zat suatu obyek akan tetap sama meskipun bentuknya diubah". Sebungkus kerupuk tidak akan bertambah atau berkurang banyaknya meskipun dihancurkan. Sebuah mangga tidak akan bertambah banyak meskipun diiris kecil-kecil.
2) Konservasi panjang, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6 - 7 tahun; "Panjang suatu obyek akan tetap sama meskipun bentuknya diubah". Seekor semut akan menempuh jarak yang sama pada seutas kawat, baik kawat itu dalam keadaan lurus maupun dibengkok-bengkokkan.
3) Konservasi kuantitas kontinyu atau kuantitas zat cair, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6-7 tahun; "Jumlah suatu zat cair dalam suatu bejana adalah tetap meskipun dipindahkan ke bejana-bejana lain yang berlainan ukuran"
4) Konservasi bilangan atau jumlah, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6,5 - 7 tahun; "Banyaknya elemen suatu obyek adalah tetap meskipun tempatnya diubah". Jumlah kelereng pada mangkuk tidak akan berubah jumlahnya meskipun dipindahkan ke dalam gelas ukuran.
5) Konservasi luas, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 7 tahun; "Luas suatu obyek yang ditutup dengan suatu bangun geometris, akan tetap sama dengan cara bagaimanapun menutupnya". Luas beberapa petak yang tertutup oleh sejumlah kartu remi akan tetap sama meskipun cara menutupnya berbeda-beda.
6) Konservasi berat, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 9 - 12 tahun; "Berat suatu obyek di suatu tempat adalah tetap meskipun bentuknya berubah". Berat planit bumi adalah tetap meskipun bentuknya dari zaman ke zaman berubah.
7) Konservasi volume, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 11 - 12 tahun lebih. "Volume suatu zat akan tetap sama meskipun wadah yang ditempatinya berubah".
Sementara hasil penelitian lain yang dilakukan Piaget dkk. dalam Good (1977:108) mengungkapkan 11 jenis konservasi pada tahap ini. Kesebelas jenis konservasi tersebut adalah:
1) Konservasi bilangan atau jumlah, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6-8 tahun;
2) Konservasi paralelisme (parallelism), pada saat anak rata-rata berusia sekitar 9-11 tahun;
3) Konservasi sudut, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 10-12 tahun;
4) Konservasi jarak, pada saat anak berusia rata-rata 7-8 tahun;
5)Konservasi panjang, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6-8 tahun;
6) Konservasi luas, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 8-11 tahun;
7) Konservasi volume bagian dalam (internal volume), pada saat anak rata-rata berusia sekitar 9-11 tahun;
8) Konservasi pemindahan volume (displacement volume), pada saat anak rata-rata berusia sekitar 11-15 tahun;
9) Konservasi kecepatan yang sama (uniform speed), pada saat anak rata-rata berusia sekitar10-12 tahun;
10) Konservasi kuantitas kontinyu, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 8-10 tahun;
11) Konservasi berat, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 10-12 tahun.
Carin & Sund mencurahkan perhatiannya pada tujuh jenis konservasi, sedangkan Good mengungkap konservasi lainnya. Dari kedua literatur tersebut terdapat perbedaan usia anak pada saat memiliki pemahaman konservasi hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan faktor sosial, budaya, dan pengalaman belajar suyek yang diteliti (La Maronta Galib, 1992: 97). Penguasaan konservasi merupakan hal yang penting untuk membekali siswa supaya mampu/cakap dalam belajar (Carin & Sund, 1989: 34). Oleh karena itu dalam pengalaman belajar, siswa perlu diberi tugas-tugas (task) yang menyangkut konservasi supaya dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah konservasi.
Kemampuan berpikir anak pada tujuh jenis konservasi di atas dapat diungkap dengan memberi tugas (task) konservasi seperti berikut. Pertama, pada konservasi substansi atau kuantitas zat padat; anak dihadapkan kepada dua buah plastisin yang sama besar. Kemudian salah satu dari plastisin itu diubah bentuknya dan anak diberi suatu pertanyaan mengenai kuantitas plastisin yang diubah bentuknya dengan yang tidak diubah, supaya anak memberikan jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi kuantitas zat padat akan menjawab bahwa plastisin sama banyaknya karena, misalnya hanya diubah bentuk atau karena plastisinnya tetap yang tadi.
Kedua, pada konservasi kuantitas kontinyu atau kuantitas zat cair; anak dihadapkan kepada dua buah gelas yang sama besar dan berisi air sama banyak, kemudian air dari salah satu gelas dipindahkan ke dalam mangkuk. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai kuantitas air yang ada di dalam mangkuk dengan yang ada di dalam gelas, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi kuantitas cat cair akan menjawab bahwa banyaknya air adalah sama karena, misalnya airnya yang tadi juga atau karena hanya dipindahkan saja.
Ketiga, pada konservasi panjang; anak dihadapkan kepada dua potong kawat yang panjangnya sama, kemudian salah satu kawat diubah bentuknya menjadi sebuah lingkaran. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai panjang kawat yang berbentuk lingkaran dengan panjang kawat yang tidak diubah bentuk, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi panjang akan menjawab bahwa panjang kawat berbentuk lingkaran sama panjang dengan kawat yang tidak diubah bentuk karena, misalnya kawatnya hanya dilengkungkan dan tidak dipotong.
Keempat, pada konservasi bilangan atau jumlah; anak dihadapkan kepada dua kumpulan kancing yang jumlahnya sama, kemudian salah satu kumpulan kancing disimpan tersebar dalam tempat yang luas. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai jumlah kancing yang tersebar pada tempat yang luas dengan kancing yang terkumpul, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi jumlah akan menjawab bahwa jumlah kancing pada dua tempat yang berbeda adalah sama karena misalnya, kancingnya masih yang tadi.
Kelima, pada konservasi luas; anak dihadapkan kepada dua lembar kertas dengan bentuk dan ukuran yang sama (misalnya daerah persegi), kemudian salah satu kertas diubah bentuk menjadi daerah segitiga yang terbentuk dari dua daerah segitiga. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai luas daerah segitiga dengan luas daerah persegi, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi luas akan menjawab bahwa luas daerah segitiga (luas jumlah dua daerah segitiga) sama dengan luas daerah persegi karena misalnya, bentuk daerah segitiga dibentuk dengan mengubah daerah persegi.
Keenam, pada konservasi berat; anak dihadapkan kepada dua buah plastisin yang sama berat. Kemudian salah satu plastisin diubah bentuknya dan anak diberi suatu pertanyaan mengenai berat kedua plastisin, supaya anak memberi jawaban beserta alasanya. Anak yang menguasai konservasi berat akan menjawab bahwa kedua plastisin sama beratnya karena misalnya, tidak ada plastisin yang diambil.
Ketujuh, pada konservasi volume; anak dihadapkan kepada sebuah plastisin dan sebuah gelas ukur berisi air, kemudian plastisin dicelupkan kedalam gelas berisi air dan mengamati perubahan permukaan airnya, berikutnya plastisin diubah bentuk dan dicelupkan lagi pada gelas yang berisi air tadi serta mengamati perubahan permukaan air di dalam gelas . Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai volume/isi plastisin sebelum dan sesuadah diubah bentuk, supaya memberi jawaban beserta alasannya. Anak yang memiliki konservasi volume/isi akan menjawab bahwa plastisin sebelum dan sesudah diubah bentuk volume/isi nya sama karena misalnya, plastisinnya tidak ditambah atau dikurang.
Memasukkan masalah-masalah konservasi dalam kegiatan belajar sains dapat memunculkan tiga aspek kemampuan berpikir logis anak yaitu kemampuan berpikir identitas (identity), kompensasi (compensation), dan reversibel (reversibility) (Labinowicz, 1980: 73; Woolfolk & Nicolich, 1980: 58). Kemampuan berpikir identitas (identity), adalah kemampuan memahami suatu obyek (benda) yang jika tidak ditambah atau dikurang maka materinya akan tetap (sama) walaupun dilakukan transformasi-transformasi. Kemampuan berpikir kompensasi (compensation), adalah kemampuan memahami bahwa materi suatu zat (zat cair) yang tidak ditambah atau dikurang hanya berubah bentuknya apabila ditempatkan pada tempat yang berbeda-beda. Kemampuan berpikir reversibel, adalah kemampuan memahami bahwa suatu obyek (benda) dapat dikembalikan seperti semula karena pada waktu dilakukan transformasi-transformasi tidak ditambah atau dikurang.
Belajar Sebagai Peningkatan Kemampuan Berpikir
Belajar merupakan suatu proses dalam diri seseorang yang berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman (Gagne dalam Ratna W. Dahar, 1989: 11). Menurut Piaget, perubahan yang dimaksud adalah perubahan kemajuan dalam segi intelektual (berpikir). Sedangkan pengalaman adalah kegiatan belajar. Untuk anak usia SD pengalaman didapat melalui pengamatan pada benda konkrit (Carin & Sund, 1989: 29-30) dan kegiatan memanipulasi benda (Skolnick et al., 1988: 52). Dalam peristiwa ini anak melakukan proses-proses fisik seperti mengamati hal-hal yang ada pada obyek untuk menemukan fakta yang ada pada obyek tersebut (pengalaman fisik). Fakta-fakta yang ditemukan dari hasil pengamatan terhadap obyek kemudian diolah oleh subyek dengan tujuan, misalnya mencari hubungan-hubungan, pengertian, pemahaman dan penerapan pengetahuan tentang objek (pengalaman logika matematika). Proses ini merupakan kegiatan berpikir. Dalam setiap kegiatan belajar selalu ada unsur-unsur tersebut, oleh karena itu kegiatan belajar dengan kondisi memperkaya pengalaman yang bermakna akan memperkaya kemampuan berpikir (Carin & Sund, 1989: 22).
Siswa yang aktif belajar akan memperoleh informasi yang fungsional (Tyler, 1949: 72). Hal ini bermanfaat bagi siswa agar dapat menyelesaikan permasalahan. Untuk itu kegiatan belajar siswa dilaksanakan dalam kelompok belajar karena dengan cara ini dapat membantu siswa berpikir dan menyelesaikan masalah bersama-sama, serta berhasil menyelesaikan tugas-tugas (Costa et al., 1988: 177; O'Leary & Dishon, 1988: 179).
Langganan:
Postingan (Atom)