Rabu, 27 Mei 2009

Implementasi Psikologi dalam Pembelajaran Sain di SD

Berbagai teori dalam metodologi pembelajaran sering dilatarbelakangi oleh konsepsi-konsepsi psikologi tentang manusia. Sekurang-kurangnya ada tiga pendekatan psikologi yang sangat dominan dalam melahirkan teori-teori tentang jiwa dan perilaku manusia, termasuk di dalamnya: perilaku belajar. Ketiga psikologi tersebut adalah psikoanalisa, behaviorisme, dan psikologi kognitif. Tindakan-tindakan persuasif dalam mendidik anak sangat dipengaruhi oleh Psikoanalisa yang melukiskan manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens). Behaviorisme memandang manusia sebagai makhluk yang dikendalikan dan digerakkan sepenuhnya oleh lingkungan (Homo Mechanicus), dari psikologi ini muncul definisi belajar sebagai perubahan perilaku. Pengertian belajar sebagai proses pengolahan informasi didasarkan pada psikologi koginitif yang melihat manusia sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya (Homo Sapiens).

Karena karakteristik Sains yang cenderung rasional dan empirik, maka tidak secara otomatis keempat jenis psikologi ini berperan langsung dalam pembelajaran Sains. Jenis psikologi yang dewasa ini nampak dominan dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah -termasuk SD- adalah psikologi behaviorisme, kognitif dan humanisme. Oleh karena itu dalam buku ini ketiga jenis psikologi tersebut akan diutamakan dielaborasi ke dalam pembelajaran Sains pada topik-topik lainnya terutama pada topik Implementasi Teori Piaget dalam Pembelajaran Sains SD, serta pada topik-topik model pembelajaran. Penjelasan lebih lanjut tentang konsepsi manusia dalam psikologi, lebih banyak dirujuk dari buku Psikologi Komunikasi (Rosda Karya, Jaluddin Rakhmat).

Konsepsi Dasar Manusia dalam Psikoanalisa

Pada mata kuliah yang terkait dengan psikologi pendidikan Anda sudah pernah berkenalan dengan nama Sigmund Freud, pendiri psikoanalisa. Ia adalah orang pertama yang berusaha merumuskan psikologi manusia. Psikoanalisa memfokuskan kajiannya kepada totalitas kepribadian manusia, bukan pada bagian-bagian yang parsial. Menurut Freud, perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga sub-sistem dalam kepribadian manusia: Id, Ego, dan Superego. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia - pusat instink atau hawa nafsu. Ada dua instink dominan: (1) Libido atau eros, instink reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif; (2) Thanatos, instink destruktif dan agresi. Termasuk ke dalam kelompok pertama adalah segala sesuatu yang mendatangkan kenikmatan, semisal kasih ibu, pemujaan pada Tuhan, cinta diri (narcisism), lapar, dan dorongan seksual. Sedangkan yang termasuk kelompok kedua antara lain desakan marah, kebencian, irihati, keinginan merusak, membunuh, dan peperangan. Id bergerak dengan prinsip kesenangan, ingin segera memenuhi kebutuhan, egoistis, tidak bermoral, dan tidak mau tahu dengan kenyataan.

Id hanya kuat melahirkan keinginan tetapi tidak mampu memu-askannya. Subsistem yang kedua - ego- berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan realitas di dunia luar. Ego adalah unsur rasional dan realistis. Ego lah yang mengendalikan Id secara umum. Unsur lain yang mengendalikan Id adalah moral. Unsur moral dalam pertimbangan terakhir tindakan manusia disebut Freud sebagai superego.

Superego adalah polisi kepribadian, hati nurani (conscience) - mewakili yang ideal. Ia merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakat. Ia mendorong ego untuk menekan dan mengendalikan desakan hasrat dari Id yang tidak normal ke dalam bawah sadar. Jika ego menyerah pada Id dan menghianati superego maka akan tumbuh perasaan bersalah. Sebaliknya jika Id tidak dipenuhi akan timbul konflik, frustasi atau kete-gangan. Untuk mengatasi hal itu, lahirlah pertahan ego dengan cara mendistorsi (mengabaikan, menganggap tidak ada, merumuskan cara padang baru) realitas. Id dan superego berada di dalam bawah sadar manusia; sedangkan ego berada di tengah-tengah menjembatani antara Id dan superego. Secara singkat, dalam psikoanalisa perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (Id), komponen psikologis (ego), dan komponen sosial (superego); atau unsur animal, rasional dan moral. Dalam pandangan psikoanalisa manusia dilukiskan sebagai makhluk yang digerakkan oleh desakan keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens).

Karena psikoanalisa lebih banyak berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak nampak, maka tidak banyak yang dapat kita implementasikan dari psikoanalisa ke dalam pembelajaran Sains. Namun secara umum harus senantiasa disadari oleh setiap guru SD bahwa dalam mengikuti pembelajaran di kelas -termasuk pembelajaran Sains- setiap siswa memiliki potensi untuk menumpahkan segala desakan Id baik yang bersifat positif maupun negatif. Desakan positif antara lain mereka sangat membutuhkan kasih sayang baik dari guru maupun teman, ingin bermain-main, atau desakan biologis seperti lapar. Desakan negatif, antara lain adalah kecenderungan merusak, ribut, atau mengganggu teman. Untuk mengatasi hal itu guru dituntut mampu menyajikan pembelajaran Sains yang memungkinkan siswa senang, bermain, bekerjasama dengan temanya, mengurangi kadar off-task time dan meningkatkan on-task time bagi siswa, serta secara proporsional menerapkan aturan-aturan dan kegiatan yang mengarah kepada pembentukan disiplin dan sikap siswa yang positif. Untuk mencapai hal itu sekurang-kurangnya guru harus:

(1) memenuhi kebutuhan biologis anak yang tidak dapat digantikan dengan lainnya (misalnya rasa lapar dan haus);
(2) memberikan penjelasan atau alasan-alasan rasional dan
(3) membuat tata tertib untuk mencegah tindakan-tindakan destruktif siswa selama pembelajaran; misalnya menetapkan aturan main atau kontrak kegiatan sebelum siswa melakukan praktikum agar praktikum berjalan lancar dan kecenderungan siswa merusak alat relatif dapat diantisipasi.

Konsepsi Dasar Manusia dalam Behaviorisme

Berbeda dengan psikoanalisa, Behaviorisme menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Sekarang, teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilku manusia -kecuali instink- adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakuknya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan (stimulus). Dari sinilah timbul konsep "manusia mesin" (Homo Mechanicus). Dalam pandangan behaviorisme manusia adalah binatang tingkat tinggi dengan "jiwa" berupa tabularasa.

Ada sejumlah konsep belajar yang dikembangkan oleh kaum behavioris untuk mengefektifkan pengaruh lingkungan terhadap hasil belajar. Metode yang paling primitif adalah metode pelaziman klasik (classical conditioning). Diambil dari Sechenov (1829-1905) dan Pavlov (1849-1936), pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli terkondisi (conditioned stimulus) dengan stimuli tertentu yang tak terkondisikan (unconditioned stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral menghasilkan perilaku tertentu yang terkondisikan. Sejalan dengan Pavlov adalah Hukum Pengaruh (Law of Effect) dari E.L. Thorndike.

Hukum pengaruh mengemukakan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip, akan meningkat. Sebaliknya jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip, akan menurun. Jadi, konsekuensi-konsekuensi dari perilaku seseorang pada suatu saat, memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang itu selanjutnya.

Pelaziman klasik dan hukum pengaruh akan menjelaskan bahwa bila setiap kali siswa berinisitaif mencoba alat Sains guru selalu menyebutnya nakal, siswa akan tidak berminat lagi untuk mencoba alat saat praktikum Sains. Bila pembelajaran Sains selalu disertai dengan soal-soal yang memusingkan siswa, kehadiran pelajaran Sains akan mencemaskan siswa. Sebaliknya jika munculnya pembelajaran Sains di kelas senantiasa berbarengan dengan terciptanya suasana bermain yang menggairahkan siswa, pembelajaran Sains akan dirindukan siswa.

Skiner menambahkan jenis pelaziman yang lain. Ia menyebutnya operant conditioning. Pelaziman jenis ini berkaitan dengan proses memperteguh respon yang baru dengan mengasosiasikannya pada stimuli tertentu berkali-kali. Oleh karenya pelaziman operant sering menggunakan peneguhan (reinforcement) untuk memperkuat hasil belajar yang diharapkan. Pada operant conditioning inilah dikenal prinsip ganjaran (reward) dan hukuman (punishment). Jika setiap kelompok yang paling tertib dalam melakukan praktikum selalu dipuji guru, maka kelompok tersebut akan cenderung mempertahankan atau bahkan meningkatkan kinerjanya. Jika setiap seorang siswa tiba-tiba mengajukan pertanyaan pada saat guru mendemonstrasikan alat atau menjelaskan konsep, kemudian guru meng-abaikannya atau bahkan menghardiknya, maka keengganan siswa untuk bertanya akan makin kuat menjadi perilaku siswa.

Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Pelaziman klasik dan operant tidak dapat menjelaskan dengan pasti mengapa anak begitu cepat belajar berbicara dalam bahasa ibunya. Menurut Bandura, belajar terjadi karena peniruan (imitation). Kemampuan meniru respons adalah penyebab utama belajar.

Teori belajar sosial memiliki beberapa konsep dasar. Konsep-konsep tersebut adalah:

(1) Pemodelan (modelling), seseorang belajar dengan cara meniru perilaku orang lain dan pengalaman vicarious yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain;
(2) Fase Belajar, terdiri dari fase perhatian terhadap model (attentional phase), fase mengendapkan hasil memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention phase), fase menampilkan ulang perilaku model oleh pebelajar (reproduction phase) dan fase motivasi (motivation phase) ketika siswa berkeinginan mengulang-ulang perilaku model yang mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif dari lingkungan;
(3) Belajar Vicarious, seseorang belajar dengan melihat apakah orang lain diberi ganjaran atau hukuman waktu terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu;
(4) Pengaturan-sendiri (self-regulation), manusia mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri.

Teori belajar Bandura dapat dijadikan landasan tentang pentingnya penggunaan metode demonstrasi oleh guru atau kerja kelompok siswa dalam pembelajaran Sains. Teori ini juga sangat efektif untuk dijadikan landasan dalam menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada siswa berkenaan dengan nilai-nilai instrinsik dari mata pelajaran Sains, terutama dengan penerapan teori Modelling. Melalui ini siswa akan melakukan peniruan terhadap apa yang diamatinya yang nampak pada kinerja guru dan teman sebaya di kelas.

Konsepsi Dasar Manusia dalam Psikologi Kognitif

Psikologi kognitif berakar pada filsafat rasionalisme. Kaum rasionalis mempertanyakan apakah betul bahwa penginderaan manusia, melalui pengalaman langsung, sanggup memberikan kebenaran. Dalam banyak hal alat indera sering tidak akurat dalam memberikan informasi. Bukankah mata Anda mengatakan bahwa kedua rel kereta api yang sejajar itu bertemu di ujung sana? Bukankah mata Anda memberikan stimuli bahwa pada batas permukaan air-udara sebatang tongkat yang tercelup sebagian jika diamati secara horizontal nampak patah? Sudah barangtentu Anda tidak menerima stimulus tersebut sebagai pengalaman belajar yang benar! Jika manusia tunduk sepenuhnya pada perlakuan lingkungan maka manusia akan memperoleh banyak hasil belajar yang superfisial (dangkal) dalam hal kebenaran.

Tokoh-tokoh psikologi kognitif sepakat bahwa jiwa lah (mind) yang menjadi alat utama pengetahuan bukan alat indera. Jiwa mengolah informasi pengalaman inderawi secara aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna. Tidak semua stimuli kita terima begitu saja. Stimuli melahirkan respon sesuai dengan tujuan dan pola yang ditentukan oleh pikiran. Tetapkanlah tujuannya: operasi pertambahan, dan stimuli "dua dan tiga" menimbulkan respons "lima". Tetapkan tujuannya perkalian, dan stimuli yang sama, sensasi auditif yang sama, "dua dan tiga" melahirkan respons "enam". Sensasi dan pikiran adalah pelayan, mereka menunggu panggilan kita, mereka tidak datang kecuali kalau kita butuhkan. Ada tuan yang menyeleksi dan mengarahkan," Demikian dipaparkan Jalaluddin Rakhmat (1989:30) .

Rasionalisme sebagai akar psikologi kognitif tampak jelas pada aliran psikologi Gestalt di awal abad XX. Para psikolog Gestalt, seperti juga kebanyakan psikoanalis, adalah orang-orang Jerman: Meinong, Ehrenfels, Kohler, Wertheimer, dan Koffka. Menurut mereka, manusia tidak memberikan respons kepada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan. Sebelum memberikan respons, manusia menangkap dulu "pola" stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang bermakna. Pola ini disebut Gestalt. Huruf "I" akan dianggap sebagai angka satu dalam rangkaian "I, II, III, IV," tetapi menjadi huruf "el" dalam rangkaian hurup pada kata "AIasan" atau huruf "i" dalam "Indonesia". Manusialah yang menentukan makna stimuli itu, bukan stimuli itu sendiri. Di kalangan ilmu komunikasi terkenal proposisi "Words don't mean, people mean", kata-kata tidak bermakna, oranglah yang memberi makna. (Jalaluddin Rakhmat, 1989:31)

Psikologi Gestalt melalui Wertheimer (1923) mengembangkan prinsip-prinsip (teori gestalt) berkenaan dengan persepsi kognitif terhadap obyek sebagai berikut. Pertama, Hukum Kedekatan (The Law of Proximity), elemen visual (terinderai) yang saling berdekatan satu sama lain akan dipersepsi sebagai bagian dari suatu kelompok. Informasi OOO OOO OOO secara segera akan dipersepsi sebagai tiga kelompok masing-masing beranggotakan tiga O, dari pada sebagai satu kelompok dengan anggota sembilan O. Dalam mengefektifkan kegiatan demonstrasi atau praktikum Sains, guru yang akan menyajikan sejumlah obyek yang harus diobservasi siswa semestinya mempertimbangkan betul peletakan obyek-obyek tersebut (benda atau gambar) sedemikian rupa sehingga observasi siswa lebih terfokus dan efektif. Jauhkanlah obyek yang tidak perlu diobservasi dari obyek yang diobservasi.

Kedua, Hukum Kesamaan (The Law of Similarity). Elemen-elemen visual yang memiliki kesamaan dalam banyak segi seperti bentuk dan ukuran akan cenderung dipersepsi sebagai satu kelompok yang sama. Hukum ini dapat diimplementasikan dalam mengefektifkan upaya guru mengembangkan keterampilan proses mengklasifikasi bagi siswa. Jika kepada siswa disajikan sejumlah benda (misalnya gambar-gambar hewan, tumbuhan, dan makhluk tak hidup) dengan beragam bentuk, ukuran, dan warna kemudian guru meminta siswa untuk mengklasifikasikan benda-benda tersebut secara bebas, maka siswa akan mengklasifikasikannya berdasarkan kesamaan segi yang nampak menonjol. Apabila guru meng-inginkan siswa mengklasifikasikan secara cepat berdasarkan karakteristik tertentu (misalnya hewan) maka sajikanlah gambar-gambar hewan tersebut dengan warna yang mencolok dan sama.

Ketiga, Hukum Arah Kelaziman (The Law of Common Direction); benda-benda atau sesuatu akan dipahami sebagai suatu kelompok (kesatuan) apabila nampak sebagai suatu rangkaian kontinum/sempurna yang mengarah kepada bentuk yang lebih dikenal.

yang membagi dua sebuah lingkaran. Sangat kecil kemungkinan dipersepsi sebagai dua belahan terpisah dari setengah lingkaran yang digabungkan oleh sebuah garis.

Keempat, Hukum Kesederhanaan (The Law of Simplicity); apa yang kita persepsi akan diorganisasikan ke dalam suatu bentuk keteraturan yang sederhana.

Dua hukum terakhir dari prinsip persepsi Gestalt dapat diimplementasikan dalam pembelajaran Sains SD terutama untuk mengop-timalkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses memprediksi, melakukan ekstrapolasi, membaca grafik dan membuat kesimpulan.

Dari Gestalt kita mengetahui bahwa pada dasarnya manusia itu berpikir holistik (utuh-menyeluruh) terlebih pada usia kanak-kanak. Pada masanya, kanak-kanak belum dapat secara efektif berpikir parsial, spesifik, dan terkotak-kotak. Berdasarkan itu maka pembelajaran Sains di SD semestinya disajikan dalam bentuk yang holistik pula terpaut dengan dunia nyata anak dan mata pelajaran yang lain. Untuk itu lah, para pakar pendidikan dewasa ini menggagaskan tepatnya pembelajaran terpadu bagi anak SD.

Perlu juga diperhatikan bahwa kemampuan persepsi siswa terhadap informasi dalam pembelajaran Sains turut dipengaruhi oleh tingkat atensi (pehatian)nya terhadap obeyek-obyek yang diobservasi. Gerakan, intensitas stimuli, kebaruan (novelty), dan perulangan adalah faktor-faktor yang dapat dimanipulasi guru untuk meningkatkan atensi siswa terhadap obyek observasi.

Benda-benda yang bergerak cenderung menarik perhatian. Obyek yang ada di tangan guru yang digerakkan secara proporsional akan memancing perhatian guru. Movie-film akan lebih menarik siswa dari slide-film yang monoton. Ukuran suatu obyek yang cukup besar di antara obyek-obyek lain yang berukuran kecil, gambar berwarna merah menyala di antara gambar-gambar lain yang berwarna putih, akan lebih diperhatikan siswa karena merupakan obyek yang memiliki intensitas stimuli yang tinggi. Demikian halnya alat-alat peraga atau media yang beragam/berbeda dari biasanya yang disediakan guru dalam pembelajaran merupakan hal yang memberi kesan kebaruan yang akan menarik minat siswa. Sedangkan, obyek (gambar, benda, suara, kalimat, istilah) yang disajikan berulang-ulang akan mendapat perhatian utama dari siswa.

Yelon & Weinstein (1977) menyarankan langkah-langkah umum untuk mengefektifkan dan meningkatkan kemampuan persepsi siswa sebagai berikut.

1. Tonjolkanlah perbedaan dan ciri khusus dari obyek-obyek yang akan diobservasi dan dipersepsi siswa. Buatlah latar belakang gambar benar-benar berbeda dari gambarnya.

2. Pada tahap awal gunakan contoh-contoh yang telah dikenal siswa sehari-hari.

3. Mantapkan tujuan dan keinginan siswa dengan cara menanyai mereka, apa yang ingin didapat/dicari dalam kegiatan demonstrasi atau percobaan.

4. Contoh-contoh benda, gambar atau simbol yang memiliki karak-teristik atau makna yang sama diletakkan berdekatan.

5. Dalam kegiatan pembelajaran yang menuntut siswa mengklasifikasikan sesuatu, sajikan lah sesuatu itu dengan menggunakan prinsip kesamaan.

Teori Piaget tentang Perkembangan Kognitif

Selain keterampilan laboratoris atau motoris, jenis keterampilan lain yang juga penting diperoleh siswa dari belajar Sains adalah keterampilan intelektual dalam menggunakan nalar. Untuk mencapai keterampilan minimal tersebut guru harus menyajikan pembelajaran Sains yang memberikan kemampuan-kemampuan tertentu yang dapat dialihgunakan. Kemampuan itu antara lain berupa

(a) kemampuan mengajukan pertanyaan (apa, bagaimana, mengapa) dan mencari jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan,
(b) kemampuan mengajukan gagasan berdasarkan pengalaman dan penalaran terhadap kejadian di sekitarnya dan
(c) kemampuan bertindak berdasarkan nalar serta bertanggungjawab terhadap keteraturan sistem di alam.

Siswa akan memiliki kemampuan berpikir yang baik apabila siswa memiliki banyak pengalaman belajar. Carin & Sund (1989:22) menyatakan bahwa memperkaya pengalaman yang bermakna menimbulkan kaya akan berpikir. Sementara Tyler (1949:72) berpendapat bahwa pengalaman belajar sangat membantu siswa dalam memperoleh informasi yang fungsional sehingga akan sangat bermanfaat dalam mempersiapkan siswa menghadapi permasalahan. Pembelajaran atau pengalaman belajar yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah akan mewujudkan pengembangan kemampuan berpikir. Oleh karena itu mengajar untuk berpikir, berarti memberikan kesempatan bagi siswa untuk melatih penggunaan konsep-konsep dan skema-skema dasar fenomena-fenomena berpikir. Pengalaman ini diperlukan supaya siswa memiliki struktur konsep yang dapat memberikan solusi terhadap sesuatu permasalahan. Dengan kata lain kemampuan berpikir akan membekali siswa dengan mekanisme yang diperlukan untuk menganalisis suatu permasalahan (Tyler, 1949: 68-71).

Seperti diungkapkan di muka, Sains sebagai mata pelajaran di sekolah dasar mulai diberikan di kelas III. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan psikologis. Usia anak kelas III SD pada umumnya berada pada rentang usia 8-13 tahun, yang oleh Oswald Kroh (dalam Kartini, 1990:137) dimasukkan pada masa realisme-kritis. Pada periode ini pengamatan anak bersifat realistis dan kritis. Anak pada usia ini sudah dapat:

a) mengadakan sintese-logis,
b) menghubungkan bagian-bagian dari suatu kejadian menjadi satu kesatuan atau menjadi satu struktur,
c) memilih dan mengolah informasi untuk digunakan mengambil keputusan (Fensham; Horsley, et al.; Yager dalam Panuel Adinawar N., 1997:7).

Sintese logis yaitu suatu kemampuan yang dimiliki anak dalam menjawab suatu permasalahan lengkap dengan alasan yang dapat diterima. Hal ini dapat terjadi karena munculnya pengertian, wawasan dan akal yang sudah mencapai taraf kematangan.

Berdasarkan tinjauan psikologis di atas maka pembelajaran Sains di SD diutamakan pada cara membangun pengetahuan berdasarkan penga-matan, pengalaman, penyusunan gagasan, pengujian melalui suatu perco-baan atau penyelidikan dan pencarian informasi.

Teori Dasar Perkembangan Kognitif

Menurut psikologi kognitif, manusia (organisme) memiliki cara tersendiri untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989:150; Good, 1977:149; Woolfolk & Nicolich, 1980:49) kemajuan atau perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi pada aktivitas kognitif organisme yaitu, organisasi dan adaptasi. Organisasi memberi kemampuan pada organisme untuk mensistematikkan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Dengan organisasi struktur fisik dan struktur psikologis diintegrasikan menjadi struktur intelektual tingkat tinggi.

Semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk beradaptasi. Arti adaptasi disini adalah adaptasi terhadap informasi yang datang dari "luar" ke dalam kognisi. Adaptasi ini dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang datang dari luar. Asimilasi dapat diartikan sebagai penyerapan dan pengintegrasian pengalaman-pengalaman baru kepada stuktur intelektual yang sudah ada. Dalam istilah perkembangan intelektual, anak telah mengalami proses belajar. Karena disini anak telah dapat menentukan hubungan antara pengalaman yang telah ia miliki dengan masalah yang datang dari luar (stimulus) dan merespon stimulus tersebut sehingga anak menjadi paham.

Stimulus yang diterima tidak selalu dapat diasimilasikan dengan struktur yang ada karena, tidak ada struktur yang tepat untuk stimulus itu. Dalam hal seperti ini anak dapat berbuat salah satu atau keduanya dari cara sebagai berikut: a) mengganti struktur yang lama dengan struktur yang baru, b) mengubah struktur yang ada sehingga stimulus baru menjadi cocok. Proses ini disebut akomodasi. Jadi dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respon terhadap masalah yang datang dari luar.

Menurut Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989:151; Good, 1977:149; Woolfolk & Nicolich, 1980:49) adaptasi terbentuk karena adanya proses asimilasi dan akomodasi. Kedua proses tersebut fungsional terhadap perkembangan kognitif yang senantiasa berfungsi dan komplementer pada setiap tingkat perkembangan intelektual. Bila proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi pada lingkungannya maka akan terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium). Ketidakseimbangan ini menimbulkan akomodasi, yaitu terjadinya perubahan struktur yang ada atau timbul struktur yang baru sampai mencapai keseimbangan. Peristiwa ini disebut ekuilibrasi, yaitu proses perubahan mental seseorang dari keadaan tidak seimbang menjadi seimbang. Namun keadaan ini tidak statis, selalu ada pertumbuhan intelektual yang berupa proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keseimbangan (disequilibrium dan equilibrium). Bila hal ini terjadi pada individu maka ia selalu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi dibanding dengan sebelumnya.

Proses asimilasi dan akomodasi dapat diterapkan pada kegiatan belajar di kelas. Adakalanya perkembangan kognitif siswa sebagian tergantung pada akomodasi. Disini siswa harus masuk pada area yang tidak dikenal untuk dapat belajar. Ia tidak dapat hanya mempelajari apa yang telah diketahuinya, dengan kata lain ia tidak dapat hanya mengandalkan asimilasi. Bila dalam proses belajar siswa tidak mendapatkan hal-hal yang baru, siswa mengalami "over asimilation", dan bila dalam proses belajar siswa tidak mengerti, berarti siswa mengalami "over accomodation". Kedua hal ini tidak memperlancar perkembangan kognitif siswa, maka perlu diusahakan adanya keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi.

Faktor-faktor Penunjang Perkembangan Kognitif

Berdasarkan hasil studi Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989: 157-158; Moh. Amien, 1987: 46; Woolfolk & Nicolich, 1980: 50-51), terdapat lima faktor yang mempengaruhi seseorang pindah tahap perkembangan intelektualnya. Kelima faktor itu adalah: kematangan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), pengalaman logika matematika (logico-methematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan ekuilibrasi (equilibration).

Kematangan yaitu proses perubahan fisiologis dan anatomis, proses pertumbuhan tubuh, sel-sel otak, sistem saraf dan manifestasi lainnya yang mempengaruhi perkembangan kognitif. Kematangan mempunyai peran yang penting dalam perkembangan intelektual. Hal ini ditunjukkan oleh hasil beberapa penelitian yang membuktikan adanya perbedaan rata-rata usia anak pada tahap perkembangan yang sama pada satu masyarakat dengan masyarakat lain yang berbeda (La Maronta Galib, 1992: 36-43 & 97; Harry, 1983: 40 & 97).

Pengalaman fisik yaitu pengalaman yang melibatkan seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan fisik, memanipulasi obyek-obyek di sekitarnya dan membuat abstraksi dari obyek tersebut. Melalui pengalaman fisik akan terbentuk pengetahuan fisik dalam diri individu, karena pengetahuan fisik merupakan pengetahuan tentang benda-benda yang ada "di luar" dan dapat diamati dalam kenyataan eksternal (Carin & Sund, 1989:38; Kamii, 1978:36).

Pengalaman logika matematika yaitu pengalaman membangun hubungan-hubungan atau membuat abstraksi yang didapat dari hasil interaksi terhadap obyek. Dengan pengalaman logika matematika akan terbentuk pengetahuan logika matematika dalam diri individu. Pengetahuan logika matematika merupakan hubungan-hubungan yang diciptakan subyek dan diperlakukan pada obyek-obyek (Carin & Sund, 1989:38; Kamii, 1978:36).

Transmisi sosial yaitu proses interaksi sosial dalam menyerap unsur-unsur budaya yang berfungsi mengembangkan struktur kognitif. Hal ini dapat terjadi melalui informasi yang datang dari orang tua, guru, teman, media cetak dan media elektronik. Dengan adanya transmisi sosial akan terbentuk pengetahuan sosial dalam diri individu. Pengetahuan sosial merupakan pengetahuan yang didasarkan pada perjanjian sosial, suatu perjanjian atau kebiasaan yang dibuat oleh manusia (Carin & Sund, 1989:38-39; Kamii, 1978:37). Pengetahuan sosial dan pengetahuan fisik merupakan pengetahuan tentang isi yang bersumber dari kenyataan yang ada "di luar", sementara pengetahuan logika matematik mengkonstruksi keadaan nyata tersebut melalui pikiran.

Ekuilibrasi yaitu kemampuan untuk mencapai kembali keseimbangan selama periode ketidakseimbangan. Ekuilibrasi merupakan suatu proses untuk mencapai tingkat kognitif yang lebih tinggi melalui asimilasi dan akomodasi. Pada proses ini mengintegrasikan faktor-faktor kematangan, pengalaman fisik, pengalaman logika matematika, dan transmisi sosial (Kamii, 1978:48)

Dalam pembentukan pengetahuan, yang berperan sangat besar adalah faktor pengaturan sendiri (self-regulation) atau ekuilibrasi (equilibration). Berdasarkan hasil temuannya, Piaget (dalam Ratna W. Dahar, 1989: 159) mengungkapkan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak. Oleh karena itu pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru kepada pikiran anak didiknya, tetapi melalui pemerolehan yang diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Terlebih lagi yang menyangkut pada pembentukan pengetahuan fisik dan pengetahuan logika matematik. Pengetahuan ini dibangun sendiri oleh anak melalui pengalaman dengan adanya peristiwa interaksi antara struktur kognisi awal yang dimilikinya dengan informasi dari lingkungan.

Konflik kognitif terjadi pada saat berlangsung interaksi antara konsepsi awal yang telah dimiliki anak dengan adanya fenomena-fenomena baru yang ditemui anak. Fenomena baru dengan konsepsi awal tidak dapat dintegrasikan begitu saja. Pengintegrasian memerlukan suatu modifikasi atau perubahan struktur kognitif anak agar mencapai keseimbangan. Peristiwa ini akan tetap terjadi selama anak menerima pengetahuan baru.

Di sekolah peristiwa ini terjadi melalui pembelajaran. Oleh karena itu konflik kognitif dapat diatasi dengan belajar, yang merupakan proses pengaturan sendiri (self regulation) dalam mencapai kesetimbangan/ ekuilibrasi (equilibration) untuk selanjutnya berakhir pada konstruksi pengetahuan oleh anak yang berdasarkan pengalaman melalui interaksi dengan obyek.

Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (Carin & Sund, 1989:23-47; Ratna W. Dahar, 1989:152-156) perkembangan intelektual seseorang melalui empat tahap berurutan, yaitu:

a) tahap sensori motor dalam rata-rata usia sekitar 0-2 tahun,
b) tahap praoperasional dalam rata-rata usia sekitar 2-7 tahun,
c) tahap operasional konkrit dalam rata-rata usia sekitar 7-11 tahun, dan d) tahap operasional formal dalam rata-rata usia sekitar 11 tahun keatas.

Perubahan dari tahap yang satu ke tahap lain kecepatannya tidak pasti (berbeda) untuk masing-masing individu. Oleh karena itu bila anak yang berada pada tahap tertentu dapat dengan cepat berubah ke tahap berikutnya, maka perubahan yang terjadi boleh jadi disebabkan oleh adanya perbedaan latar belakang, kemampuan, ketangkasan, dan upaya anak. Penentuan rentang usia pun, tidak berlaku pasti, tetapi merupakan rata-rata. Meskipun demikian urutan tahap dalam melampaui satu tahap ke tahap berikutnya selalu sama, tidak ada individu yang loncat tahap. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan adanya individu yang tidak sampai ke tahap operasional formal. Inhelder dalam studi doktoralnya menemukan anak usia tahap operasional formal yang mentalnya terbelakang ternyata kemampuan intelektual tidak pada tahap operasional formal (Carin & Sund, 1989:24). Setiap tahap perkembangan ditandai pula oleh pola penalaran yang khas. Garis besar gambaran pola penalaran anak pada masing-masing tahap perkembangan diketahui dari ciri-ciri atau karakteristik sebagai berikut.

Tahap sensori motor adalah tahap pertama dalam perkembangan intelektual, pada tahap ini anak memiliki tingkah laku yang didominasi oleh gerakan-gerakan refleks atau bersifat motorik. Gerakan tersebut sebagian besar disebabkan oleh stimulus. Dominasi gerakan refleks pada tahap ini lambat laun berkurang seiring dengan berkembangnya daya pikir. Perkembangan ini didapat melalui pengalaman belajar merasakan dan mengenal obyek, sehingga pada akhir tahap ini anak dapat "membedakan". Misalnya; anak sudah tahu orang tuanya, nama-nama benda, binatang.

Tahap praoperasional adalah tahap kedua dalam perkembangan intelektual. Tahap ini merupakan tahap persiapan dalam pengorganisasian operasi konkrit. Tahap ini dapat dibagi ke dalam tahap berpikir pra-logis dan tahap berpikir intuitif. Tahap berpikir pra-logis berada pada rata-rata usia sekitar 2 - 4 tahun. Pada tahap ini anak memiliki penalaran transduktif yaitu suatu penalaran yang bergerak dari khusus ke khusus. Tahap berpikir intuitif berada pada rata-rata usia sekitar 4 - 7 tahun. Pada tahap ini anak dapat menilai dan mempertimbangkan atas dasar persepsi pengalaman sendiri, oleh karena itu anak pada tahap ini bersifat egosentris. Hal lain yaitu anak berpikir ireversibel, berpikir statis, dan concreteness.

Berpikir ireversibel yaitu belum dapat berpikir kebalikan dari cara berpikir semula. Artinya anak tidak mampu memahami suatu transformasi atau perubahan-perubahan urutan dalam suatu peristiwa. Berpikir statis adalah salah satu ciri anak pada tahap preoperasional. Dengan kata lain anak pada tahap ini tidak menggunakan macam-macam operasi, melainkan hanya tertuju pada satu dimensi serta tidak memperhatikan gerakan-gerakan perubahan. Concreteness adalah kemampuan berpikir anak masih berorientasi pada hal-hal yang konkrit. Anak belum mampu memahami hal-hal yang abstrak atau yang direpresentasikan secara verbal (Ratna W. Dahar, 1989:153; Good, 1977:153; Carin & Sund, 1989:27; Woolfolk & Nicolich, 1980:55-56). Pada akhir tahap ini merupakan saat transisi ke operasional konkrit, disini mungkin saja terjadi penguasaan konservasi panjang, bilangan, dan kuantitas.

Tahap operasional konkrit adalah tahap ketiga dari tahap perkem-bangan intelektual. Tahap ini berada pada saat anak-anak usia SD. Tahap ini merupakan permulaan berpikir rasional. Pada tahap operasional konkrit anak mampu berpikir logis melalui obyek-obyek konkrit, dan sulit memahami hal-hal yang hanya direpresentasikan secara verbal (Sund; Becker, Engelman & Thomas; Bolton; Beard & Hunt dalam La Maronta Galib, 1992:22). Peristiwa berpikir dan belajar anak pada tahap ini sebagian besar melalui pengalaman yang nyata (Carin & Sund, 1989:29) yang berawal dari proses interaksi anak dengan obyek (benda) bukan dengan lambang, gagasan ataupun abstraksi. Dengan kata lain anak-anak pada tahap ini belum mampu melakukan proses berpikir yang abstrak, belum mampu belajar dengan baik tentang proses sains yang abstrak (seperti tentang peristiwa photosintesa), serta selalu mengalami kesulitan dalam memahami konsep yang abstrak, seperti mempelajari konsep gravitasi (Carin & Sund, 1989:30). Meskipun demikian anak pada tahap ini memiliki operasi yang dapat dikembangkan yaitu operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, klasifikasi, kores-pondensi, penempatan urutan. Juga menguasai pengukuran dan konservasi volume, berat dan luas (Carin & Sund, 1989:30,37; Ratna W. Dahar, 1989:154; Good, 1977:106-109).

Disamping beberapa ciri yang telah disebutkan di atas, anak-anak tahap operasional konkrit sudah memperlihatkan kemampuan berpikir kombinativitas (combinativity), reversibilitas (reversibility), asosiatif (asso-siative), dan identitas (identity) (Ratna W. Dahar, 1989: 154; Woolfolk & Nicolich, 1980: 58). Kemampuan berpikir kombinativitas (combinativity) adalah kemampuan mengadakan berbagai kombinasi dari macam-macam hubungan. Contoh, anak dapat menyimpulkan bahwa A lebih besar dari C, apabila A lebih besar dari B dan B lebih besar dari C. Atau A sama dengan C, karena A sama dengan B dan B sama dengan C (pemahaman transitif).

Kemampuan berpikir reversibilitas (reversibility) adalah kemampuan berpikir atau melakukan operasi-operasi sebagai kebalikan dari cara berpikir semula. Operasi yang dapat dilakukan seperti operasi logis atau matematis yang dapat dihadapkan dengan operasi yang berlawanan. Contohnya, semua makhluk - semua makhluk tak hidup = semua makhluk tak hidup dan semua makhluk hidup + semua makhluk tak hidup = semua makhluk. Reversibilitas ini merupakan sifat esensial dalam sistem kognisi, penguasaannya, penting untuk dapat memahami konsep-konsep sains dan matematika (Piaget & Bruner, dalam La Maronta Galib, 1992: 23).

Kemampuan berpikir asosiatif (assosiative) adalah kemampuan untuk mencapai suatu jawaban dengan menggunakan beberapa cara yang menghubung-kan unsur-unsur yang terdapat dalam suatu objek atau peristiwa. Kemampuan berpikir ini misalnya ditunjukkan oleh kemampuan menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki orang tua; Tidak ada ikan yang hidup di darat, karena semua ikan yang ditemukan selalu bercirikan tempat hidupnya air.

Kemampuan berpikir identitas (identity) adalah kemampuan memahami sifat-sifat tertentu dari suatu objek yang tidak berubah bila tidak ditambah atau dikurangi. Dalam hal ini keadaan menjadi sama atau serupa dalam aspek-aspek tertentu meskipun telah dilakukan transformasi-transformasi. Kemampuan berpikir ini sangat berkaitan dengan kemampuan berpikir konservasi (ketetapan).

Mengacu pada teori di atas maka anak pada tahap operasional konkrit tidak mudah dikelabui oleh perbedaan-perbedaan persepsi seperti yang terjadi pada anak preoperasional. Oleh karena itu anak pada tahap operasional konkrit sudah memiliki pemahaman konservasi. Artinya anak pada tahap operasional konkrit sudah dapat melakukan perubahan-perubahan suatu "obyek" secara fisik, dan menyatakan bahwa perubahan bentuk, posisi, dan sebagainya tidak akan merubah jumlah proporsi obyek tersebut (Moh. Amien, 1987: 61; Woolfolk & Nicolich, 1980: 56). Namun demikian hasil penelitian di USA membuktikan bahwa sejumlah besar siswa sekolah menengah atas masih mempunyai kesulitan dalam memahami konservasi (Moh. Amien, 1987: 62).

Tahap operasional formal adalah tahap akhir dari perkembangan intelektual menurut Piaget, sebab setelah itu tidak terjadi lagi peningkatan kualitas intelektual. Berbeda dengan anak yang berada pada tahap sebelumnya, anak operasional formal mampu melakukan penalaran dengan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi, dan generalisasi-generalisasi. Artinya anak-anak operasional formal sudah bisa menggunakan operasi logisnya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat verbal, rumit, dan kompleks. Disini logika sudah menjadi alat berpikir anak ini sehingga ia mampu melakukan operasi terhadap operasi. Artinya anak bisa melakukan operasi dengan tidak mengacu pada obyek, tetapi pada sumber yang ditangkap dari relasi yang terkandung dalam informasi (operasi-operasi) yang diberikan dan menggunakannya untuk menemukan hubungan.

Dengan memperhatikan kemampuan-kemampuan tersebut, kita dapat membedakan anak yang berada pada tahap operasional formal dengan anak yang berada pada tahap sebelumnya. Misalnya untuk mengetahui tahap perkembangan anak yang dilakukan dengan memberi tugas (task) konservasi; reaksi dari anak tahap operasional konkrit berbeda dengan anak tahap operasional formal. Boleh jadi bagi anak tahap operasional formal tidak menanggapinya dengan serius karena baginya masalah tersebut sudah jelas.

Kemampuan Berpikir konservasi

Di atas telah disebutkan bahwa perkembangan intelektual anak pada tahap operasional konkrit salah satunya adalah memiliki pemahaman konservasi. Secara umum prinsip konservasi dapat dinyatakan bahwa selama suatu obyek (benda) tidak ditambah atau dikurangi, maka karakteristik-karakteristik tertentu dari obyek (benda) itu tidak berubah (tetap sama) meskipun pada obyek (benda) itu telah dilakukan transformasi-transformasi.

Menurut Carin & Sund (1989: 34) terdapat tujuh jenis konservasi yang berkembang di dalam struktur kognitif anak pada tahap operasional konkrit. Ketujuh jenis konservasi itu adalah:

1) Konservasi substansi atau kuantitas zat padat, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6 - 7 tahun; "Banyaknya zat suatu obyek akan tetap sama meskipun bentuknya diubah". Sebungkus kerupuk tidak akan bertambah atau berkurang banyaknya meskipun dihancurkan. Sebuah mangga tidak akan bertambah banyak meskipun diiris kecil-kecil.

2) Konservasi panjang, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6 - 7 tahun; "Panjang suatu obyek akan tetap sama meskipun bentuknya diubah". Seekor semut akan menempuh jarak yang sama pada seutas kawat, baik kawat itu dalam keadaan lurus maupun dibengkok-bengkokkan.

3) Konservasi kuantitas kontinyu atau kuantitas zat cair, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6-7 tahun; "Jumlah suatu zat cair dalam suatu bejana adalah tetap meskipun dipindahkan ke bejana-bejana lain yang berlainan ukuran"

4) Konservasi bilangan atau jumlah, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6,5 - 7 tahun; "Banyaknya elemen suatu obyek adalah tetap meskipun tempatnya diubah". Jumlah kelereng pada mangkuk tidak akan berubah jumlahnya meskipun dipindahkan ke dalam gelas ukuran.

5) Konservasi luas, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 7 tahun; "Luas suatu obyek yang ditutup dengan suatu bangun geometris, akan tetap sama dengan cara bagaimanapun menutupnya". Luas beberapa petak yang tertutup oleh sejumlah kartu remi akan tetap sama meskipun cara menutupnya berbeda-beda.

6) Konservasi berat, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 9 - 12 tahun; "Berat suatu obyek di suatu tempat adalah tetap meskipun bentuknya berubah". Berat planit bumi adalah tetap meskipun bentuknya dari zaman ke zaman berubah.

7) Konservasi volume, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 11 - 12 tahun lebih. "Volume suatu zat akan tetap sama meskipun wadah yang ditempatinya berubah".

Sementara hasil penelitian lain yang dilakukan Piaget dkk. dalam Good (1977:108) mengungkapkan 11 jenis konservasi pada tahap ini. Kesebelas jenis konservasi tersebut adalah:

1) Konservasi bilangan atau jumlah, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6-8 tahun;
2) Konservasi paralelisme (parallelism), pada saat anak rata-rata berusia sekitar 9-11 tahun;
3) Konservasi sudut, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 10-12 tahun;
4) Konservasi jarak, pada saat anak berusia rata-rata 7-8 tahun;
5)Konservasi panjang, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 6-8 tahun;
6) Konservasi luas, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 8-11 tahun;
7) Konservasi volume bagian dalam (internal volume), pada saat anak rata-rata berusia sekitar 9-11 tahun;
8) Konservasi pemindahan volume (displacement volume), pada saat anak rata-rata berusia sekitar 11-15 tahun;
9) Konservasi kecepatan yang sama (uniform speed), pada saat anak rata-rata berusia sekitar10-12 tahun;
10) Konservasi kuantitas kontinyu, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 8-10 tahun;
11) Konservasi berat, pada saat anak rata-rata berusia sekitar 10-12 tahun.

Carin & Sund mencurahkan perhatiannya pada tujuh jenis konservasi, sedangkan Good mengungkap konservasi lainnya. Dari kedua literatur tersebut terdapat perbedaan usia anak pada saat memiliki pemahaman konservasi hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan faktor sosial, budaya, dan pengalaman belajar suyek yang diteliti (La Maronta Galib, 1992: 97). Penguasaan konservasi merupakan hal yang penting untuk membekali siswa supaya mampu/cakap dalam belajar (Carin & Sund, 1989: 34). Oleh karena itu dalam pengalaman belajar, siswa perlu diberi tugas-tugas (task) yang menyangkut konservasi supaya dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah konservasi.

Kemampuan berpikir anak pada tujuh jenis konservasi di atas dapat diungkap dengan memberi tugas (task) konservasi seperti berikut. Pertama, pada konservasi substansi atau kuantitas zat padat; anak dihadapkan kepada dua buah plastisin yang sama besar. Kemudian salah satu dari plastisin itu diubah bentuknya dan anak diberi suatu pertanyaan mengenai kuantitas plastisin yang diubah bentuknya dengan yang tidak diubah, supaya anak memberikan jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi kuantitas zat padat akan menjawab bahwa plastisin sama banyaknya karena, misalnya hanya diubah bentuk atau karena plastisinnya tetap yang tadi.

Kedua, pada konservasi kuantitas kontinyu atau kuantitas zat cair; anak dihadapkan kepada dua buah gelas yang sama besar dan berisi air sama banyak, kemudian air dari salah satu gelas dipindahkan ke dalam mangkuk. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai kuantitas air yang ada di dalam mangkuk dengan yang ada di dalam gelas, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi kuantitas cat cair akan menjawab bahwa banyaknya air adalah sama karena, misalnya airnya yang tadi juga atau karena hanya dipindahkan saja.

Ketiga, pada konservasi panjang; anak dihadapkan kepada dua potong kawat yang panjangnya sama, kemudian salah satu kawat diubah bentuknya menjadi sebuah lingkaran. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai panjang kawat yang berbentuk lingkaran dengan panjang kawat yang tidak diubah bentuk, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi panjang akan menjawab bahwa panjang kawat berbentuk lingkaran sama panjang dengan kawat yang tidak diubah bentuk karena, misalnya kawatnya hanya dilengkungkan dan tidak dipotong.

Keempat, pada konservasi bilangan atau jumlah; anak dihadapkan kepada dua kumpulan kancing yang jumlahnya sama, kemudian salah satu kumpulan kancing disimpan tersebar dalam tempat yang luas. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai jumlah kancing yang tersebar pada tempat yang luas dengan kancing yang terkumpul, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi jumlah akan menjawab bahwa jumlah kancing pada dua tempat yang berbeda adalah sama karena misalnya, kancingnya masih yang tadi.

Kelima, pada konservasi luas; anak dihadapkan kepada dua lembar kertas dengan bentuk dan ukuran yang sama (misalnya daerah persegi), kemudian salah satu kertas diubah bentuk menjadi daerah segitiga yang terbentuk dari dua daerah segitiga. Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai luas daerah segitiga dengan luas daerah persegi, supaya anak memberi suatu jawaban beserta alasannya. Anak yang menguasai konservasi luas akan menjawab bahwa luas daerah segitiga (luas jumlah dua daerah segitiga) sama dengan luas daerah persegi karena misalnya, bentuk daerah segitiga dibentuk dengan mengubah daerah persegi.

Keenam, pada konservasi berat; anak dihadapkan kepada dua buah plastisin yang sama berat. Kemudian salah satu plastisin diubah bentuknya dan anak diberi suatu pertanyaan mengenai berat kedua plastisin, supaya anak memberi jawaban beserta alasanya. Anak yang menguasai konservasi berat akan menjawab bahwa kedua plastisin sama beratnya karena misalnya, tidak ada plastisin yang diambil.

Ketujuh, pada konservasi volume; anak dihadapkan kepada sebuah plastisin dan sebuah gelas ukur berisi air, kemudian plastisin dicelupkan kedalam gelas berisi air dan mengamati perubahan permukaan airnya, berikutnya plastisin diubah bentuk dan dicelupkan lagi pada gelas yang berisi air tadi serta mengamati perubahan permukaan air di dalam gelas . Selanjutnya anak diberi suatu pertanyaan mengenai volume/isi plastisin sebelum dan sesuadah diubah bentuk, supaya memberi jawaban beserta alasannya. Anak yang memiliki konservasi volume/isi akan menjawab bahwa plastisin sebelum dan sesudah diubah bentuk volume/isi nya sama karena misalnya, plastisinnya tidak ditambah atau dikurang.

Memasukkan masalah-masalah konservasi dalam kegiatan belajar sains dapat memunculkan tiga aspek kemampuan berpikir logis anak yaitu kemampuan berpikir identitas (identity), kompensasi (compensation), dan reversibel (reversibility) (Labinowicz, 1980: 73; Woolfolk & Nicolich, 1980: 58). Kemampuan berpikir identitas (identity), adalah kemampuan memahami suatu obyek (benda) yang jika tidak ditambah atau dikurang maka materinya akan tetap (sama) walaupun dilakukan transformasi-transformasi. Kemampuan berpikir kompensasi (compensation), adalah kemampuan memahami bahwa materi suatu zat (zat cair) yang tidak ditambah atau dikurang hanya berubah bentuknya apabila ditempatkan pada tempat yang berbeda-beda. Kemampuan berpikir reversibel, adalah kemampuan memahami bahwa suatu obyek (benda) dapat dikembalikan seperti semula karena pada waktu dilakukan transformasi-transformasi tidak ditambah atau dikurang.

Belajar Sebagai Peningkatan Kemampuan Berpikir

Belajar merupakan suatu proses dalam diri seseorang yang berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman (Gagne dalam Ratna W. Dahar, 1989: 11). Menurut Piaget, perubahan yang dimaksud adalah perubahan kemajuan dalam segi intelektual (berpikir). Sedangkan pengalaman adalah kegiatan belajar. Untuk anak usia SD pengalaman didapat melalui pengamatan pada benda konkrit (Carin & Sund, 1989: 29-30) dan kegiatan memanipulasi benda (Skolnick et al., 1988: 52). Dalam peristiwa ini anak melakukan proses-proses fisik seperti mengamati hal-hal yang ada pada obyek untuk menemukan fakta yang ada pada obyek tersebut (pengalaman fisik). Fakta-fakta yang ditemukan dari hasil pengamatan terhadap obyek kemudian diolah oleh subyek dengan tujuan, misalnya mencari hubungan-hubungan, pengertian, pemahaman dan penerapan pengetahuan tentang objek (pengalaman logika matematika). Proses ini merupakan kegiatan berpikir. Dalam setiap kegiatan belajar selalu ada unsur-unsur tersebut, oleh karena itu kegiatan belajar dengan kondisi memperkaya pengalaman yang bermakna akan memperkaya kemampuan berpikir (Carin & Sund, 1989: 22).

Siswa yang aktif belajar akan memperoleh informasi yang fungsional (Tyler, 1949: 72). Hal ini bermanfaat bagi siswa agar dapat menyelesaikan permasalahan. Untuk itu kegiatan belajar siswa dilaksanakan dalam kelompok belajar karena dengan cara ini dapat membantu siswa berpikir dan menyelesaikan masalah bersama-sama, serta berhasil menyelesaikan tugas-tugas (Costa et al., 1988: 177; O'Leary & Dishon, 1988: 179).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar