Kamis, 16 April 2009

Mutu Pendidikan Agama Masih Belum Optimum

JAKARTA, (PRLM).-Menag Muhammad Maftuh Basyuni mengatakan, salah satu tantangan dan tuntutan terbesar Departemen Agama (Depag) dan menjadi salah satu program utama adalah peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan. Namun, usaha peningkatan mutu pendidikan agama masih belum optimum.
"Walaupun dengan bangga saya katakan sudah banyak madrasah unggulan yang bisa menandingi lembaga pendidikan yang lain," tegas Menag kepada wartawan seusai memimpin upacara Peringatan Hari Amal Bhakti (HAB) ke-63 Depag yang berlangsung di Jakarta, Sabtu (3/1).
Menag mengatakan, lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tidak lagi mendikotomikan antara lembaga pendidikan yang dikelola oleh pemerintah dan yang dikelola oleh masyarakat merupakan suatu berkah, sekaligus sebagai pemicu bagi semua untuk bahu membahu bersinergi dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas.
"Sebagai tindak lanjut dari UU Sisdiknas tersebut, secara khusus Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Peraturan Pemerintah tersebut berfungsi sebagai payung hukum terhadap penyelenggaraan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan," ujarnya.
Menag memaparkan, Depag saat ini membina hampir 18.759 raudhatul/bustanul athfal, 40.258 madrasah, 539 Perguruan Tinggi Agama, dan tidak kurang dari 17.605 pondok pesantren. Juga, membina lembaga pendidikan di lingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimas Kristen, Katholik, Hindu, dan Buddha. Selain itu, kata dia, lembaga-lembaga pendidikan agama dan keagamaan yang bersifat non formal dan informal yang berkembang di tengah masyarakat. "Besarnya jumlah lembaga dan peserta didik tersebut dengan jelas menunjukkan betapa berat tugas yang diemban Departemen Agama," tuturnya.
Permasalahan lain, kata Menag, adalah adalah rendahnya mutu tenaga pengajar, terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan, lemahnya manajemen, dan keterbatasan dana operasional dan dana pengembangan. Ia mengatakan, pemerintah telah berupaya untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan di Depag dari tahun ke tahun. Namun demikian, peningkatan anggaran masih jauh dari jumlah ideal yang diharapkan.
"Dengan anggaran yang terbatas tersebut kita harus mampu menyusun prioritas program dan kegiatan yang secara signifikan memberi sumbangan bagi peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan," jelasnya.

Madura Tetap Islami Meskipun ada Suramadu

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid menyatakan, masyarakat Madura akan tetap menjadi masyarakat Islami, meski Madura nantinya akan menjadi daerah industri pasca dioperasikannya jembatan Suramadu.
"Di Madura ini banyak ulama dan pondok pesantren sebagai benteng pertahanan moral masyarakat. Jadi saya yakin masyarakat Madura akan tetap Islami meskipun industri dan banyak budaya asing yang masuk ke Madura," kata Hidayat di Bangkalan, Minggu (5/4).
Lembaga pondok pesantren, kata Hidayat, merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang selama ini dikenal mampu mengarahkan santri-santri dalam pendidikan moral. Keberadaan pondok pesantren jelas akan sangat membantu menjaga citra positif warga Madura dalam hal memilter masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini lebih lanjut menyatakan, persoalan yang akan terjadi di Madura, terutama terkait pembinaan memang bukan hanya murni tanggungjawab para ulama, tapi dengan adanya para ulama dan lembaga pendidikan pondok pesantren, maka hal itu akan lebih mudah diatasi. "Jadi meski industrialisasi nantinya masuk ke Madura, maka itu akan menjadi industrialisasi yang Islami karena dikontrol secara langsung oleh para ulama," katanya.
Yang terpenting, kata Hidayat Nur Wahid dan perlu dipersiapkan sejak saat ini, ialah peningkatan keterampilan warga Madura. Sehingga setelah Madura menjadi daerah industri, mereka bisa ikut andil di dalamnya dan bukan menjadi orang asing di daerahnya sendiri.
Pemkab di Madura juga perlu duduk bersama membicarakan penataan dan pembangunan Madura ke depan, sehingga antara satu kabupaten dengan kabupaten lain saling mengisi.
Sementara dalam acara silaturahim dengan para santri dan ulama pengasuh pondok pesantren se-Madura yang digelar di pondok pesantren Al-Muhajirin, Dusun Pasarean Bawah, Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Bangkalan, Minggu itu, Hidayat Nur Wahid juga sempat mengingatkan agar para ulama dan santri hendaknya menggunakan hak pilihnya pada pemilu 9 April 2009.
Sebab, kata dia, pilihan mereka nanti akan sangat menentukan perjalanan nasib bangsa 5 tahun ke depan. Ia juga meminta masyarakat lebih selektif dalam memilih partai ataupun calon pemimpin. Karena nasib bangsa juga akan ditentukan oleh para pemimpin dan orang yang menjadi wakilnya di DPR nantinya.

Anak-anak TKI di Sabah Kini Bisa Nyanyi "Indonesia Raya"

Mengharukan juga melihat dan mendengar anak-anak kelas 3 SD Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) menyanyikan lagu "Indonesia Raya" dan "Garuda Pancasila" sebelum mereka memulai belajar.
"Inilah cara kami mengenalkan Indonesia dan menumbuhkan rasa cinta pada diri anak-anak TKI di Sabah terhadap negara tercinta, Indonesia," kata Dadang Hermawan, Kepala Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK), Sabah, Borneo.
Sekitar 80 persen, anak-anak TKI yang sekolah di SIKK lahir di Sabah. Mereka kurang mengenal Indonesia. Lahir karena orang tua mereka adalah buruh perkebunan kelapa sawit. Anak-anak TKI itu tumbuh dan besar di negeri orang tanpa bisa mengecap pendidikan formal seperti umumnya anak-anak Indonesia di tanah air dan anak-anak warga Malaysia.
"Tidak betul juga jika dikatakan anak-anak TKI tidak bisa belajar di sekolah Malaysia. Yang dilarang adalah sekolah kebangsaan karena itu ada subsidinya. Anak warga asing seharusnya sekolah di swasta atau sekolah internasional," kata atase pendidikan KBRI Kuala Lumpur, Imran Hanafi.
"Di sinilah persoalannya, orang tuanya berprofesi sebagai TKI tidak mampu membayar sekolah swasta apalagi sekolah internasional sehingga ribuan anak-anak TKI bisa mengecap pendidikan formal," tambah dia.
Ditambah lagi, peraturan imigrasi Malaysia melarang pekerja asing membawa anggota keluarganya, baik anak dan istri, termasuk dilarang kawin.
Namun kenyataannya, TKI yang bekerja di Sabah, apakah itu menjadi buruh perkebunan kelapa sawit atau menjadi pembantu, membawa keluarganya. Para majikannya tampaknya mengijinkan hal itu demi kenyamanan dan loyalitas kerja para buruhnya.
Menurut data KJRI Kota Kinabalu tahun 2006, ada sekitar 24.199 anak-anak TKI di Sabah tidak bisa mendapatkan pendidikan. Karena saat itu yang dicatat hanya anak-anak usia sekolah maka pada tahun 2008, diperkirakan 30.000 anak-anak TKI yang tidak mengecap pendidikan formal.
Hambatan Sekolah
Masalah buruh di perkebunan kelapa sawit untuk tidak boleh kawin dan membawa keluarga menjadi suatu dilema. Aturan imigrasi Malaysia memang buruh asing dilarang kawin dan membawa keluarganya, kecuali ekspatriat.
Hal itu diakui Manajer SDM Sabah Land Development Board (SDLB) Syaheddrul Joddari. "Kami punya buruh laki-laki dan wanita. Walaupun kami selalu melarang mereka kawin, tapi yang namanya cinta sulit dicegah. Perkawinan baik resmi atau tidak terjadi di perkebunan hingga mereka punya anak," katanya.
Melihat ada buruh yang kawin, punya istri dan anak sudah tentu mendorong buruh yang punya istri di kampung untuk membawa keluarganya ke Sabah. Hal ini berlangsung sekian lama sehingga ribuan anak-anak buruh perkebunan kelapa sawit kini tidak bisa mengecap pendidikan formal. Apalagi setelah ada revisi UU Pendidikan di Malaysia yang mendiskriminasi anak buruh asing bersekolah di sekolah milik pemerintah karena ada unsur subsidinya.
"Bagi majikan dan perusahaan perkebunan, ada keluarga buruh menciptakan kenyamanan kerja bagi si buruh. Jika nyaman maka loyalitas kerja juga bagus. Selain itu, anak-anak dan istri buruh juga bisa sekaligus bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Apalagi anak-anak buruh tidak bersekolah maka bekerja di perkebunan kelapa sawit selain menambah penghasilan juga kegiatan yang baik untuk membunuh waktu," kata konsuler bidang ketenagakerjaan KJRI Kota Kinabalu, Umbara Setiawan.
Anak tidak bisa sekolah sudah tentu akan menambah panjang kemiskinan keluarga buruh. Pemerintah Indonesia dan Malaysia dibantu LSM Humana berbasis di Eropa mencoba mengadakan sekolah informal. Anak-anak TKI dan buruh Filipina diajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Tidak ada jenjang kelas. Yang penting bisa membaca, menulis dan berhitung.
Pemerintah Malaysia juga sudah meminta perusahaan perkebunan secara sukarela menyediakan gedung sekolah informal. Kini ada sekitar 90 gedung sekolah informal yang dikelola Humana dengan jumlah murid sekitar 7.000 orang. Sejak tahun 2007, Indonesia telah mengirimkan 109 guru.
Tapi upaya pemerintah Indonesia tidak cukup sampai di situ saja. Atas dasar hubungan baik kedua negara, kedua kepala pemerintahan sepakat untuk mengijinkan adanya sekolah Indonesia di Kota Kinabalu bagi anak-anak TKI.
Sudah Operasi
Sekolah Indonesia Kota Kinabalu beroperasi sejak 1 Desember 2008 dengan jumlah 274 murid sekolah dasar (SD). SIKK memiliki enam ruang kelas di kompleks pertokoan Alam Mesra, Kota Kinabalu.
Dengan enam kelas, SIKK ini dapat menampung 326 anak TKI, tapi kini baru menampung 274 anak karena baru empat guru termasuk kepala sekolah ikut mengajar. "Dalam waktu dekat akan ada empat guru tambahan lagi datang dari Indonesia," kata Dadang Hermawan.
"Agar dapat memberikan pendidikan yang lebih luas kepada anak-anak TKI, SIKK akan mengadakan pendidikan non formal melalui paket A, paket B dan paket C, " tambah dia.
Untuk tahun pertama, seluruh anak-anak SIKK diberikan seragam baru "Merah Putih" dan buku-buku pelajaran. "Mereka sangat antusias dalam belajar. Masuk pukul tujuh tapi pukul 6 banyak yang sudah tiba di sekolah. Itu artinya mereka sudah meninggalkan rumah ke sekolah jam 05 pagi," ungkap Dadang.
Orang tua murid, Edijatmiko, asal Malang mengaku sangat senang ada sekolah Indonesia di Kota Kinabalu karena kini anaknya bisa mendapatkan pendidikan informal. "Selama ini, anak-anak kami hanya sekolah seperti madrasah di kampung. Tidak bisa masuk ke sekolah formal," katanya.
Menurut data KJRI, ada 576 anak TKI yang ingin sekolah di SIKK. Tapi setelah diadakan seleksi dan evaluasi hanya 274 yang bisa masuk sekolah formal. "Banyak anak-anak TKI di usia 11 tahun tapi belum bisa baca. Terpaksa kami tidak bisa terima," kata Kepsek SIKK Dadang.
Nabila, murid kelas I SIKK, mengaku senang bisa sekolah di SIKK. "Teman-teman juga senang bisa memakai seragam merah putih, seragam sekolah Indonesia. Saya kini sudah hafal lagu Indonesia Raya dan Garuda Pancasila," katanya sambil tersenyum.

PLS Berantas Buta Aksara di NTT

Pemberantasan buta aksara di Nusa Tenggara Timur (NTT) membutuhkan komitmen dan partisipasi dari semua elemen masyarakat, termasuk lembaga dan tokoh agama. Salah satu lembaga keagamaan yang digandeng Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi NTT adalah Keuskupan Agung Kupang.
Demikian disampaikan Kepala Sub Dinas (Kasubdin) Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi NTT, Marten Dira Tome, ketika pertemuan dengan Uskup Agung Kupang, Mgr Petrus Turang Pr, di Istana Keuskupan, Senin (7/1).
Pertemuan ini dilakukan bersama tim dari Direktorat Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) RI, Chaerudin, dan para wartawan dari Jakarta.
Dalam pertemuan dengan uskup, Marten Dira Tome mengatakan, salah satu program yang dikembangkan PLS adalah pemberantasan buta aksara.
Menurutnya, angka buta aksara di NTT masih sangat tinggi, di mana sampai akhir tahun 2006 masih sekitar 370.710 jiwa. Angka buta huruf yang ada menyebar di seluruh wilayah NTT.
"Selama dua tahun terakhir, pemberantasan buta aksara juga merupakan salah satu agenda utama yang harus diselesaikan pemerintah. Apalagi, Presiden RI, Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) sesuai Keppres tahun 2006, menginginkan agar tahun 2009, angka buta aksara di Indonesia maksimal 95 persen."
"Untuk mencapai persentase ini, mustahil kalau pemerintah bekerja sendiri. Dengan demikian, PLS berupaya melakukan kerja sama dengan semua elemen masyarakat termasuk tokoh agama," kata Dira Tome.
Lembaga-lembaga keagamaan, katanya, dinilai memiliki data yang valid mengenai warga masyarakatnya yang masih buta aksara. Keuskupan Agung Kupang selama ini sudah ada kerja sama dengan membangun kelompok-kelompok belajar.
Uskup mengatakan, wilayah KAK meliputi Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Alor, Sabu, Rote Ndao, Kabupaten Kupang, Kota Kupang.
Wilayah yang paling banyak angka buta huruf adalah TTS, Alor dan Sabu, sedangkan tempat lain seperti Kupang pada umumnya sudah baik.
Tahun 2008 ini, kata uskup, jika Pemprop NTT dalam hal ini Subdin PLS Dinas P dan K NTT mau serius berantas buta aksara, tentukan satu daerah mana yang akan mau dituntaskan buta aksara.

Homeschooling Solusi, atau Kerugian

Akhir-akhir ini metode pendidikan Homeschooling sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, dipelopori oleh Kak Seto melalui Asah Pena yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk membantu proses belajar mengajar di dalam Homeschooling, apalagi juga didukung melalui pemberitaan yang luas dari media masa, maka semakin tinggilah apresiasi masyarakat -gembor terhadap metode pembelajaran ini, apalagi dengan gembar-gembor dari media massa yang menyatakan bahwa Homeschooling merupakan alernatif pendidikan yang sangat tepat untuk saat ini mengalahkan dominasi sekolah yang sudah sejak dahulu berada dalam garis terdepan dalam melakukan pembelajaran kepada siswa maka masyarakat perlu dijelaskan apakah memang Homeschooling seindah yang mereka bayangkan?

Homeschooling dan Legalitas

Sebelum berbicara mengenai legalitas dari Homeschoolng, harus diketahui dulu apakah sebenarnya Homeschooling itu. Home Schooling atau biasa disingkat HS merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing (Daryono, 2008). Sistem ini sendiri terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia. Baru kemudian mulai menjadi tren di Indonesia tahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya jika kita flashback ke belakang sistem pembelajaran HS telah ada bahkan sejak sebelum jaman penjajahan dulu, beberapa tokoh penting kita seperti Ki Hajar Dewantara, Buya Hamka dan KH Agus Salim telah lebih dulu mengenyam sistem pengajaran HS ini.
Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (home schooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah dilakukannya (Mulyadi, 2008).
Berbicara mengenai payung hukum, Homeschooling sebenarnya sudah mempunyai payung hukum. Menurut, Harun Al Rosyid Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Non Formal (BPPLSP) mengatakan sekolah rumah atau home schooling ini telah memiliki payung hukum UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anak peserta home schooling dapat mengikuti ujian nasional berbarengan dengan siswa sekolah formal melalui sekolah mitra yang ditunjuk Dinas Pendidikan.. selain itu, di Indonesia, pendidikan dalam keluarga merupakan kegiatan pendidikan jalur informal, kutipan UU no 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur pada proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan dari informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Kemudian (kutipan pasal 90 SNP), peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikat mandiri / profesi sesuai ketentuan berlaku dan peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijasah yang setara dengan Ijasah dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang teraktreditasi sesuai ketentuan yang berlaku. Dari penjelasan ini maka dapat diketahui bahwa sebenarnya Homeschooling memiliki payung hukum yang jelas dalam melaksanakan metode pembelajaran yang mereka lakukan sehingga masyarakat tidak perlu merasa terlalu takut untuk menyekolahkan anaknya di dalam Homeschooling

Keuntungan dan Kerugian

Metode pembelajaran tematik dan konseptual serta aplikatif menjadi beberapa poin keunggulan HS. Home schooling memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Setiap siswa HS diberi kesempatan untuk terjun langsung mempelajari materi yang disediakan, jadi tidak melulu membahas teori. Mereka juga diajak mengevaluasi secara langsung tentang materi yang sedang di bahas. Bahkan bagi siswa yang memiliki ketertarikan di bidang tertentu, misalnya Fisika atau Ilmu alam, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan observasi dan penelitian sesuai ketertarikan mereka.
Beberapa keunggulan lain home schooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu karena sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonscholastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.
Ada keunggulan, pasti ada juga kekurangannya, begitu juga dengan home schooling, beberapa kekurangan harus siap dihadapi oleh orang tua yang memilih home schooling sebagai alternatif pendidikan, diantaranya tidak ada kompetisi atau bersaing. Sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusia dia.. Selain itu anak belum tentu merasa cocok jika diajar oleh orang tua sendiri, apalagi jika memang mereka tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya
Kekurangan lain yang tidak bisa kita pungkiri adalah kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat. Kemungkinan lainnya anak bisa terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga akan kurang siap nantinya menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian. Faktor tingginya biaya home schooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan home schooling lebih besar dibanding jika kita mengikuti pendidikan formil disekolah umum.

Sudah Adaptifhkah dengan Indonesia

Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di â?ohantui â?ooleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif â?oamanâ? buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal.
Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah.
Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah.
Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistic, jadi mau Homeschooling atau tidak itu terserah anda.

"Homeschoolers", Bisa Kuliah juga, Kok...

Sekolah rumah atau homeschooling, terutama di kota-kota besar, mulai populer. Apa sih homeschooling?
Singkatnya, homeschooling itu metode pendidikan belajar-mengajar yang dilakukan di rumah, baik oleh orangtua maupun tutor. Sebenarnya sih enggak harus di rumah. Intinya, mereka yang menjalani homeschooling harus bisa belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja.
Materi pelajaran buat siswa homeschooling atau homeschoolers itu bisa sesuai dengan kurikulum nasional (sama dengan yang dipelajari abu-abuers di sekolah formal), kurikulum internasional, atau gabungan. Waktu belajarnya lebih fleksibel, jadi biasanya homeschoolers punya banyak kesempatan mendalami bidang pelajaran sesuai minat dan potensi masing-masing.
Pendidikan homeschooling bisa dilakukan satu keluarga, beberapa keluarga, atau bergabung dalam komunitas homeschooling. Karena keberadaannya sebagai salah satu bentuk pendidikan informal diakui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, kamu enggak usah khawatir soal ijazah.
Peserta homeschooling seusia siswa SMA bisa ikut ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK) Paket C, setara SMA. Kamu bisa ambil UNPK IPA dan IPS yang diselenggarakan dua kali setahun, pada Juli dan November.
Ada juga sih yang ikut ujian nasional (UN) di sekolah formal. Misalnya di Komunitas Sekolah Rumah Pelangi, Tangerang, homeschoolers punya dua pilihan. Mereka bisa ikut UNPK Paket C yang biayanya lebih murah, atau ikut UN SMA yang artinya bergabung dan bayar uang pendaftaran di suatu sekolah agar dimasukkan sebagai siswa yang berhak ikut UN.
Apa lulusan homeschooling enggak didiskriminasi? Seharusnya sih enggak boleh ada diskriminasi. Kan, dijamin undang-undang. Lagi pula, UNPK Paket C yang diikuti homeschoolers juga diselenggarakan Badan Standar Nasional Pendidikan, penyelenggara UN. Standar nilai kelulusannya pun sama.
Alternatif
Buat mereka yang sibuk berkarier selain sekolah, seperti pemain sinetron yang hampir tiap hari shooting, homeschooling menjadi pilihan menarik. Atlet yang harus konsentrasi berlatih dan bertanding enggak usah khawatir bakal enggak bisa namatin sekolah karena tersedia pendidikan yang bisa menyesuaikan jadwal peserta.
Lha, abu-abuers yang bukan figur publik, apa alasannya ber-homeshooling?
Michael Tumiwa (19), warga Pamulang, Tangerang, bergabung dengan homeschooling Kak Seto karena stres berada di lingkungan sekolah formal yang pergaulannya bisa berdampak negatif buatnya.
”Rasanya enggak konsentrasi sekolah karena banyak teman pakai narkoba. Aku merasa enggak nyaman di sekolah. Pas kelas III SMA, aku keluar, ikut homeschooling,” kata Michael yang sejak 2007 menjadi mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta.
Biar dari homeschooling, dia enggak merasa beda dengan teman-teman lain lulusan sekolah formal. Sebagai homeschooler, Michael juga belajar bidang studi yang sama seperti saat dia menjadi siswa SMA jurusan IPS.
”Asyiknya, waktu dan cara belajar homeschooling fleksibel, tapi bukan berarti seenaknya. Justru aku harus bisa belajar sendiri. Tiap Senin dan Rabu selama dua jam aku datang ke homeschooling Kak Seto, bertemu teman-teman dan tutor sambil belajar bersama. Selebihnya, belajar sendiri di rumah,” tutur Michael yang hobi main gitar ini.
Karena enggak harus sekolah tiap hari, dia jadi punya waktu menjadi guru privat gitar. Selain menyalurkan hobi, sekalian dapat duit. Urusan pendidikan pun enggak terbengkalai.
Ivan Rizki (19), mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations, juga lulusan homeschooling Kak Seto. Bagi Ivan, homeschooling adalah harapan terakhir untuk menyelesaikan SMA.
”Aku beberapa kali pindah sekolah di SMA yang bonafide. Tapi aku enggak cocok dengan cara belajar di sekolah formal yang serba ngikutin aturan. Aku enggak nyaman belajar di sekolah. Terus, aku baca di media bahwa ada homeschooling. Aku jadi bersemangat buat menyelesaikan SMA-ku dengan cara yang lebih sesuai buatku,” ujar Ivan.
Kebutuhan individu
Apa yang dialami siswa seperti Ivan, dalam pandangan Seto Mulyadi, Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif, memerlukan metode pendidikan sesuai kebutuhan individu.
Siswa yang punya kendala psikologis (mudah stres dan tertekan belajar di sekolah), geografis (tempat tinggal jauh dari sekolah), dan ekonomis (dari keluarga tak mampu), bisa menemukan alternatif pendidikan dengan homeschooling yang umumnya fleksibel, menyesuaikan dengan minat dan potensi tiap individu.
Ivan bercerita, sebagai homeschooler, tak berarti dia bebas dari kewajiban belajar seperti di sekolah. ”Dengan homeschooling, aku lebih bisa menerima pelajaran. Aku punya jadwal belajar, dan itu dipantau para tutorku,” katanya.
Saat mendaftar perguruan tinggi, Michael dan Ivan enggak mengalami kesulitan meski mereka lulusan Paket C. Mereka yang mau ikut seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) juga enggak ditolak meski berijazah Paket C. Ada juga, kok, homeschoolers yang diterima di perguruan tinggi negeri seperti Universitas Indonesia.
Gilang Pratama (17), homeschooler yang bergabung dengan Komunitas Homeshooling Berkemas di Jakarta, sedang menyiapkan diri ikut UNPK Paket C IPA. Ia belajar diselingi main piano yang jadi hobinya.
Kata Gilang, dia memutuskan ikut homeschooling pada Januari lalu, sekembalinya dari program homestay di negeri Paman Sam selama setahun. Gilang mesti balik lagi di kelas dua pada sekolah lamanya.
”Aku rugi setahun dong. Terus, aku dapat informasi, pendidikan homeschooling sudah ada dan diakui,” ujar Gilang yang bakal bertolak ke Jerman guna kuliah di bidang komputer

Sekolah Informal Memanusiakan “Orang Asing Liar”

Cukup berat. Itu faktanya kalau bekerja sebagai buruh di kapal nelayan Thailand. Saw tahu itu namun harus menjalaninya. Dia bekerja sebagaimana umumnya terjadi yaitu menjadi orang asing tanpa dokumen resmi. Pria berusia 15 tahun itu berasal dari Myanmar.
Anak muda yang tidak suka memberikan nama lengkapnya itu punya satu hal yang selalu dinantikan: Dia menanti suasana Sabtu sore di gedung olahraga Gereja St. Anna. Di kota pelabuhan Samut Sakhon yang berjarak 40 kilometer barat daya Bangkok itu, gedung itu merupakan tempat nongkrong setelah berhari-hari bekerja. Setiap Sabtu itu, ketika tidak berada di kapal di Teluk Thailand, Saw menikmati sauasana di sana bersama teman-teman, sambil belajar baca-tulis dan bermain sepak bola.
“Sekolah” informal di gedung olahraga gereja itu dipakai oleh sekitar 20 anak usia 2 hingga 15 tahun. Mereka adalah anak-anak dari orang-orang asing liar asal Myanmar. Seorang frater, pastor setempat, dan dua guru agama Buddha mengelola sekolah itu dengan dana dari paroki itu telah setahun menyempatkan setiap hari Sabtu untuk berkarya bersama anak-anak muda sebagai bagian dari karya pastoralnya.
Frater tahun ke tiga itu mengajar mereka berhitung dan Bahasa Thailand, serta memberikan pendidikan etika dan pengetahuan umum. Ia juga bermain sepak bola, voli dan bulu tangkis dengan mereka, serta melakukan kegiatankegiatan ke luar seperti piknik.
Pastor Peter Theeraphol Kobvithayakul, kepala Paroki St. Anna, mengatakan kepada UCA News, dulu dia berkarya bersama para migran muda asal Myanmar. Mereka kerap tidak punya waktu untuk kegiatan bersama karena mereka harus bekerja. “Itulah sebabnya, kata Peter, “kami beralih menangani anak-anak seperti Saw.
Saw dan keluarganya tinggal di sebuah ruangan kosong. Pemerintah tahu bahwa mereka ada, namun secara teknis mereka tidak keluar. Mereka digolongkan sebagai orang asing liar, tidak punya hak atau dokumen-dokumen kerja resmi. Saw dan imigran asal Myanmar lain hanya diberikan toleransi kalau perusahaan dan majikan butuh buruh yang murah.
Menteri tenaga kerja memperkirakan bahwa Thailand memiliki 2 juta imigran liar dari Kamboja, Laos, dan Myanmar.
Di Thailand, seperti tempat manapun, pekerja asing liar menjadi pekerja kasar. Industri perikanan, khususnya, sangat terkenal dengan kondisi penuh bahaya dan perlakuan buruk terhadap para pekerja Myanmar.
Orang asing liar ini mengerjakan hal-hal yang tidak mau atau tidak akan dikerjakan oleh orang-orang Thailand. Menurut Kementerian Tenaga Kerja Thailand, di Provinsi Samut Sakhon saja ada 300.000-400.000 orang asing liar ini. Sebagian besar dari mereka itu bekerja sebagai buruh di kapal nelayan atau penyeleksi udang.
Menghadapi hidup keras dan diskriminasi, banyak yang jatuh ke dalam kebiasaan buruk. Begitu kata dua guru sekolah informal itu. Para guru itu berusaha melawan berbagai kebiasaan negatif orang-orang ini yaitu menggunakan obat-obat terlarang atau minum-minuman keras.
Dari awal, kata para guru setempat, mereka membantu para imigran untuk belajar bersikap etis. “Kami mengajar mereka tentang disiplin diri”, kata guru Thitimaphorn Chaisamut.
Ia dan koleganya Munthanee Serthong, keduanya beragama Buddha, bekerja dengan orang muda ini selama tiga tahun. Banyak dari mereka berbicara hanya bahasa Myanmar, katanya, tapi sekarang mereka belajar bahasa Thai. “Saw adalah seorang anak laki-laki yang baik,” kata Thitimaphorn. Dia tidak minum maupun merokok.
Ketika sedang duduk dan menulis karakter bahasa Thai, dia mengatakan kepada UCA News, “ Saya memberikan semua pendapatanku kepada ibuku.”
Orangtua Saw datang ke Thailand beberapa tahun lalu untuk mencari pekerjaan. Bapaknya bekerja di sebuah kapal dan ibunya bekerja di pabrik. Saw mengatakan ia bekerja berjam-jam menangkap ikan hanya agar bisa memperoleh 4.700 baht (US$130) setiap bulan. Upah minimum per hari yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja Bangkok dan Samut Sakhon adalah 191 baht. Saw dan orangtuanya tinggal di ruangan kecil di sebuah blok apartmen yang menampung puluhan migran Myanmar.
Pastor Theeraphol mengakui sejumlah orang di parokinya tidak senang dengan pelayanan yang ia lakukan. Katanya, “tidak ingin kami membangunkan anak-anak macan.”
Rupanya masyarakat lokal takut bahwa para imigran yang terdidik akan menuntut banyak uang dan memperoleh upah di atas para pekerja asal Thailand sendiri.Imam itu menjawab, dirinya hanya ingin anak-anak itu bertumbuh menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab. Mereka harus tumbuh menjadi anggota masyarakat yang baik.. “Kami berusaha melakukan apa yang bisa kami lakukan,” ujar Theeraphol. dan Keuskupan Agung Bangkok. Frater Wattana Sornnuchart, 27, mahasiswa di Seminari Tinggi Sam Phran, 30 kilometer barat Bangkok,

Baru Separuh Jumlah Anak Terlayani PAUD

Pendidikan Anak Usia Dini atau PAUD berperan penting dalam penentuan pola pikir anak pada usia emas 0-4 tahun. Namun, PAUD masih cenderung ditelantarkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Hingga kini, baru separuh dari total 29 juta anak usia dini di Indonesia yang telah terlayani oleh PAUD.
Tahun ini, menurut Direktur PAUD, Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal, Departemen Pendidikan Nasional, Sujarwo Singowidjojo, pemerintah menargetkan pembentukan 16.800 PAUD baru dengan target utama rintisan di 50 kabupaten termasuk Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta.
Tiap kabupaten tersebut, lanjut Sujarwo, akan memperoleh bantuan dana senilai rata-rata Rp 3 miliar untuk pengembangan PAUD. Fasilitasi pemerintah daerah di Indonesia dinilai masih kurang terutama dalam mendukung pendanaan bagi operasional PAUD maupun honor tutor dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Honor tutor dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), misalnya, baru saja naik dari Rp 50.000 menjadi Rp 100.000 per bulan yang diberikan bagi 50.000 tutor dari total 160.000 tutor. "Kami mengimbau tiap bupati untuk menggalakkan program PAUD dengan dukungan APBD," kata Sujarwo ditemui di sela launching PAUD Unggulan di PAUD An Nur, Karangmojo, Kamis (26/2).
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DI Yogyakarta Suwarsih Madya dalam sambutan tertulisnya menyatakan terus berupaya menyosialisasikan PAUD ke seluruh lapisan masyarakat. Total jumlah siswa yang duduk di Taman Pendidikan Anak, Kelompok Bermain, dan Satuan PAUD Sejenis di DIY adalah 64.651 anak dengan 6.805 tutor.
PAUD An Nur didaulat menjadi pusat unggulan PAUD Gunung Kidul dan memperoleh bantuan block grant dari pemerintah pusat senilai Rp 150 juta. Pengurus PAUD An Nur, Alifatun, mengatakan, pendanaan operasional PAUD selama ini mengandalkan bantuan dari donatur serta subsidi silang dari orangtua murid.
Sujarwo menambahkan, kualitas hidup manusia ditentukan pada sejauh mana kualitas pendidikan di usia dini. Kemampuan kognitif justru berkembang pesat pada usia 0-4 tahun. "Di tangan para tutor, perbaikan generasi muda bangsa ini ditentukan," tambahnya.
Bupati Gunung Kidul Suharto mengakui bahwa pembentukan perilaku dan sikap dimulai sejak usia dini. Saat ini, baru sekitar 51 persen anak di Gunung Kidul mengenyam PAUD. Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul berupaya terus meningkatkan kualitas pendidikan dengan pendanaan dari APBD senilai Rp 318 miliar untuk pendidikan.

Pendidikan Usia Dini Diabaikan

Proses pembangunan pendidikan di Indonesia selama ini kurang memberikan perhatian pada pendidikan anak usia dini (PAUD), terutama PAUD nonformal. Padahal, PAUD merupakan pendidikan yang sangat penting untuk meletakkan dasar-dasar kecerdasan secara komprehensif.
"PAUD terlupakan. Karena itu, kini saatnya kita menebus kesalahan masa lalu di mana selama puluhan tahun kita mengabaikan PAUD. Baru pada tahun 2000, kita mulai perhatikan PAUD," kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di sela-sela acara Semiloka Nasional PAUD bertema Investasi Strategis Pembangunan Sumber Daya Manusia dan Pembangunan Nasional di Masa Mendatang, di Bogor, Jawa Barat, Rabu (26/11).
Mendiknas mengatakan, pada pembangunan pendidikan masa lalu juga banyak yang terabaikan, yakni, kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, emosional, sosial, estetika, dan kinestika. Karena itu, lanjutnya, pemerintah akan segera membakukan pendidikan PAUD menjadi program formal dalam sistem pendidikan nasional. Menurutnya, usia PAUD adalah usia emas dalam perkembangan seorang anak. Karena 80 persen potensi kecerdasan komprehensif anak dapat dipicu agar berkembang secara pesat dan optimal. Sedangkan, sisanya sebanyak 20 persen dapat dikembangkan setelah usia delapan tahun sampai dengan usia 20 tahun.
Fakta ini, katanya, diperkuat dengan berbagai penelitian longitudinal (tracer studies) yang dilakukan oleh para ahli tentang pentingnya peranan PAUD bagi masa depan seseorang. Anak yang mengikuti PAUD dengan baik akan menjadi orang dewasa yang tangguh kecerdasan, fisik dan mentalnya sehingga bisa menjadi manusia yang kreatif dan produktif serta tinggi tingkat kinerjanya. "Anak yang mengikuti PAUD juga lebih siap mengikuti pendidikan di SD, mencegah putus sekolah dan siap mengikuti pendidikan jenjang berikutnya," katanya.
Meski PAUD menjadi level penting dalam proses pendidikan, Bambang menolak adanya pembelajaran yang memaksa anak-anak usia dini, terutama pelajaran membaca, menulis dan berhitung.
Berdasarkan data Depdiknas, dari 28,6 juta anak usia dini, hingga sekarang baru 50,9 persen yang sudah terlayani PAUD baik formal maupun nonformal. Targetnya pada akhir 2009 nanti angka partisipasi kasar PAUD mencapai 53,9 persen.
Sementara itu, Ketua Forum PAUD Ratna Megawangi mengatakan, IQ atau kecerdasan otak seorang anak ternyata tidak banyak menjamin keberhasilan masa depannya. Dalam sejumlah penelitian diperoleh fakta bahwa IQ hanya memberikan kontribusi 20 persen dari keberhasilan seorang manusia. Sedangkan, 80 persen lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosi (EQ). "Dalam hal ini, EQ ditunjukkan dengan karakter seorang anak," katanya.

Siswa SLB Kesulitan Transportasi

Minimnya transportasi bagi siswa sekolah luar biasa (SLB) di Muaraenim menjadi kendala serius.
Selain tidak tersedianya angkutan resmi, jauhnya jarak sekolah yang mencapai 10 km dari pusat Kota Muaraenim juga harus mendapatkan perhatian serius dari Pemkab Muaraenim. Salah seorang wali murid,Sutisna, 36, warga Tanjung Enim, mengaku sangat kesulitan saat akan mengantarkan anaknya ke sekolah.
Apalagi, sejak lokasi sekolah dipindahkan dari Kelurahan Tungkal ke Desa Kepur. Sebab, transportasi menuju sekolah ini belum tersedia. “Memang pemkab telah menyediakan satu unit kendaraan L300, tetapi hal itu masih sangat kurang, mengingat banyaknya jumlah murid.Tidak semua wali murid yang memiliki kendaraan sendiri.Pemerintah seharusnya tanggap mengenai hal ini,” ujar Sutisna kemarin.
Terpisah, Asisten III Setda Muaraenim Syahrul Ibrahim menerangkan, pihaknya terus mencarikan solusi terbaik bagi siswa SLB. “Kami terus memperhatikan perkembangannya. Pemkab Muaraenim tidak pernah tinggal diam untuk masalah ini.Transportasi siswa merupakan tanggung jawab Dinas Pendidikan,” katanya.
Menurut Syahrul, pihaknya telah menginstruksikan Dinas Pendidikan (Disdik) Muaraenim segera mencarikan solusi.Akhirnya, dari dua kendaraan operasional Disdik,salah satunya telah digunakan untuk transportasi siswa SLB. Minimnya kendaraan,diakuinya, membuat transportasi menuju SLB cukup sulit.
“Masalahnya, kendaraan L300 itu kerap berangkat satu kali dan sering tidak menunggu siswa-siswa lain. Memang kedatangan siswa tidak bersamaan, tetapi akhirnya lama- kelamaan menjadi lalai,”katanya. Setelah rapat koordinasi kemarin, pihaknya minta Disdik dapat lebih memperhatikan masalah transportasi ini.
Bahkan, pemkab telah mengajukan usulan untuk menyediakan satu buah bus angkutan di dalam Anggaran Belanja Tambahan (ABT) Muaraenim.“ Akan kami perjuangan usulan tersebut,”ucapnya. Tahun ajaran ini, sebut dia, jumlah siswa SLB mencapai 54 orang, dengan rincian 43 orang yang mengalami cacat mental, 9 orang tunarungu wicara, 1 orang tunanetra, dan 1 orang cacat tubuh.
Sedangkan domisili tempat tinggal siswa, 29 di antaranya tinggal di Tanjung Enim, sisanya tersebar di Kecamatan Muaraenim. “Fasilitas belajar-mengajarnya pun sudah kami sesuaikan dengan sekolah biasa. Mereka tetap kami perhatikan.Bahkan,bantuan operasional sekolah (BOS) juga sudah dianggarkan.Ke depan, permasalahan transportasi secepatnya akan diselesaikan,” ungkapnya.

Selasa, 14 April 2009

Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di Amerika Serikat

Di Amerika Serikat perkembangan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi sangat berbeda dengan di Inggris. Pendiri Republik Amerika Serikat sangat membatasi kekuasaan pemerintah di dalam meregulasi pendidikan tinggi yang dilandasi pada kekhawatiran timbulnya regulasi yang tersentralisir oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu di dalam UU Republik Amerika Serikat, institusi sosial yang berbasis sukarela (voluntary associations) memainkan peran cukup kuat di dalam regulasi berbagai urusan masyarakat, termasuk pendidikan tinggi.
Perkembangan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi di AS dimulai pada permulaan tahun 1780-an ketika the University State of New York diberi wewenang oleh Negara Bagiannya untuk mereview akademi-akademi yang ada di wilayahnya, khususnya meregistrasi kurikulum yang digunakan oleh setiap institusi pendidikan tinggi. Negara bagian lain ikut mengadopsi cara ini, misalnya Iowa pada tahun 1846, Washington pada tahun 1909, Virginia pada tahun 1912 dan Maryland pada tahun 1914.

Pada tahun 1847, American Medical Association merupakan asosiasi profesi pertama yang melakukan penilaian mutu pendidikan dokter secara sukarela. Akan tetapi, membutuhkan waktu hampir 60 tahun, untuk akhirnya semua fakultas kedokteran bersedia dinilai mutunya secara eksternal dan melakukan perbaikan sesuai rekomendasi.
Pada awal abad 20, menjamurlah berbagai asosiasi institusi pendidikan dari berbagai bidang yang berjumlah 602. Pada tahun 1930, North Central Association mengadopsi prinsip akreditasi yang lebih sederhana dan menggabungkan beberapa asosiasi institusi pendidikan untuk melakukan akreditasi.
Pada tahun 1930, ada dorongan yang kuat agar Pemerintah mengambil alih tanggungjawab penjaminan mutu pendidikan tinggi dan lebih melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini untuk menghindari institusi pendidikan tinggi yang beroperasi di bawah standar dan menghasilkan lulusan dengan kompetensi dan kualifikasi yang tidak jelas. Akan tetapi melalui berbagai diskusi yang mendalam oleh berbagai pihak, akhirnya diputuskan penjaminan mutu pendidikan tinggi tetap dilakukan oleh asosiasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan tinggi yang merupakan non-governmental organization.
Pada tahun 1960-an terjadi perubahan situasi karena dana publik yang dialokasikan untuk institusi pendidikan tinggi melalui Departemen Pendidikan sangat besar. Pemerintah Federal merasa perlu untuk terlibat langsung di dalam akreditasi institusi pendidikan tinggi dalam rangka menentukan institusi pendidikan yang mana yang layak menerima dana publik. Akibatnya, ada tiga pihak yang terlibat, yaitu Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian dan Asosiasi institusi yang berjumlah ribuan.
Akhirnya pada tahun 1968, dibentuklah Division of Accreditation and Institutional Eligibility pada US Office of Education yang berfungsi untuk memberikan pengakuan terhadap lembaga-lembaga akreditasi volunter yang berbasis dari asosiasi institusi dan asosiasi profesi.
Pada tahun 1979 dibentuklah Council on Postsecondary Accreditation (COPA) untuk menyatukan semua upaya-upaya akreditasi institusi pendidikan tinggi, baik oleh Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian, maupun asosiasi profesi. COPA kemudian aktif melakukan riset-riset di bidang akreditasi pendidikan tinggi untuk mencari bentuk dan konsep yang paling tepat. Beberapa kesimpulannya adalah the police powers of government cannot be turned over to voluntary associations. Accreditation should be linked to eligibility for federal funding, and the process of accreditation should be insulated from the administrative process of the federal government. The federal government should rely, primarily and as appropriate, upon the review and evaluation of accrediting agencies carried out by the education community.

Biaya Pendidikan Tinggi Makin Jauhi Orang Miskin

Sejauh ini pemerintah Jerman telah memberikan peluang berkesinambungan bagi warga masyarakat Indonesia untuk studi di negara itu, baik melalui pemberian beasiswa pemerintah Jerman (DAAD), beasiswa lembaga-lembaga non-pemerintah maupun biaya sendiri bagi yang mampu.
Namun dalam kenyataannya, Indonesia belum bisa memanfaatkan peluang yang ada, sehingga sistem pendidikan di Tanah Air masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan Jerman.
Hal itu dikemukakan dosen Jurusan Sosiologi Fisipol UGM, Dr Heru Nugroho SU, pada seminar ''Hubungan Persahabatan Indonesia-Jerman sebagai Usaha Peningkatan Kerja Sama dengan Masyarakat Uni Eropa dalam Perspektif Pendidikan dan Kebudayaan'' di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sabtu (11/11).
Menurut Heru, dibandingkan dengan pendidikan di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Philipina, bangsa ini masih sangat jauh tertinggal. Bantuan berapa pun terhadap Indonesia dalam bidang pendidikan, kalau tidak ada kemauan keras untuk berubah dari pihak Indonesia, tidak akan berguna.
Karena itu, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk memperbaiki sistem pendidikan, yaitu dengan meningkatkan anggaran pendidikan dan etos kerja akademik.
Selanjutnya, mewujudkan budaya akademik sehingga muncul universitas-universitas andal dan bertaraf internasional, serta mempromosikan orang-orang beprestasi di dunia akademik agar memperoleh penghargaan setimpal.
Kondisi pendidikan tinggi di Jerman saat ini sedang mengalami perubahan luar biasa apabila dibandingkan dengan zaman keemasan masa lalu. Semakin hari, pemerintah terus saja memangkas dana-dana untuk jaminan sosial, termasuk pendidikan tinggi. Dengan demikian, tidak ada lagi pendidikan gratis.
Sementara di Indonesia, biaya pendidikan tinggi terus saja menggelembung semakin menjauhi rakyat miskin dari keterjangkauannya. Pendidikan gratis tidak pernah ada. Namun pada masa Orba pendidikan tinggi mengambil kebijakan menarik biaya relatif sangat murah, sehingga lapisan orang miskin dapat mengaksesnya.

Perilaku Belajar Mahasiswa di Indonesia

Belajar merupakan hak setiap orang, akan tetapi kegiatan belajar di suatu perguruan tinggi merupakan suatu hak istimewa karena hanya orang yang memenuhi syarat saja yang berhak belajar di lembaga pendidikan tinggi tersebut.
Dengan pengakuan tersebut, harapan adalah bahwa seorang yang telah mengalami proses belajar secara formal akan mempunyai wawasan, pengetahuan, keterampilan, kepribadian dan perilaku tertentu sesuai dengan apa yang ingin dituju oleh lembaga pendidikan.
Tujuan lembaga tinggi pendidikan pada umumnya dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional. Yang perlu dicatat bahwa belajar merupakan kegiatan individual tertentu.
Suatu fakta angan-angan individual terhadap career plan merupakan gejala belajar seseorang di perguruan tinggi dan merupakan suatu kebutuhan (needs). Kebutuhan ini akhirnya menentukan sikap, perilaku dan pandangan belajar di perguruan tinggi yang merupakan suatu prospek penting dalam career plan seseorang dewasa ini.
Ada dua tujuan yang terlibat dan saling menunjang dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Yang pertama adalah tujuan lembaga pendidikan dalam menyediakan sumber pengetahuan dan pengalaman belajar (knowledge and learning experience) yang kedua adalah tujuan individual mereka yang belajar (mahasiswa).
Proses belajar mengajar mestinya harus mampu menyelaraskan tujuan individual dan tujuan lembaga pendidikan dan bahkan tujuan pendidikan nasional. Dua hal di atas kadang-kadang tidak disadari benar baik oleh penyelenggara pendidikan maupun oleh mahasiswa.

Kegiatan belajar hampir tidak ada bedanya dengan kegiatan mengajar dalam suatu kursus atau pendidikan keterampilan. Masalahnya sekarang adalah apakah tujuan individual seseorang memasuki perguruan tinggi? Hal ini yang acap kali diidentifikasi atau dirumuskan dengan jelas oleh mereka yang memutuskan untuk belajar di perguruan tinggi.

Gejala yang sering dirasakan di Indonesia adalah belajar di perguruan tinggi lebih merupakan kebutuhan sosial orang lain (misalnya orang tua), akibatnya, belajar dianggap sebagai suatu beban dan penderitaan.

Apakah tujuan yang ingin dicapai melalui belajar-mengajar yang disebut kuliah. Kuliah merupakan bentuk interaksi antara dosen, mahasiswa dan pengetahuan. Pemahaman dan persepsi mengenai hubungan ketiga faktor tersebut sangat menentukan keberhasilan proses belajar.

Perilaku Belajar
Bisa dikatakan mahasiswa Indonesia menganggap kuliah merupakan sumber pengatahuan utama, bahkan satu-satunya, sehingga catatan kuliah merupakan jimat yang ampuh dan dosen merupakan dewa pengetahuan.

Lingkungan belajar seperti ini menempatkan dosen menjadi seperti tukang sulap yang kelihatan pintar tetapi hanya karena mengetahui muslihat-muslihat (tricks) yang sengaja disembunyikannya dan kemudian menjual pengetahuan tersebut melalui loket kuliah.

Kebanyakan mahasiswa di Indonesia memperoleh pengetahuan sedikit demi sedikit seperti membeli kue dari sebuah warung. Kekeliruan persepsi ini bukan semata-mata kesalahan mahasiswa, persepsi tersebut dapat timbul justru dari sikap dosen yang secara tidak sadar telah menciptakan kondisi demikian.

Akibatnya, mahasiswa kebanyakan mempunyai perilaku untuk hanya datang, duduk,dengar dan catat [D3C]. Catatan kuliah dianggap sumber pengetahuan dan bahkan kalau perlu mahasiswa tidak usah datang ke kuliah tetapi cukup dengan mengkopi saja catatan mahasiswa yang lain.

Karena pendekatan pengendalian proses belajar-mengajar di kelas yang kurang mendukung, banyak mahasiswa yang merasa nyaman menjadi "mesin dengar kopi". Kalau tujuan individual akan dicapai secara efektif, arti kuliah harus diredifinisi dan dilaksanakan secara konsekuen.

Mahasiswa dan dosen mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Dengan konsep ini, pengetahuan merupakan barang bebas, walaupun diperlukan biaya untuk memperolehnya. Dosen berbeda dengan mahasiswa karena wawasan dan pengalaman-pengalaman berharga yang dimilikinya yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.

Wawasan dan pengalaman dosen diperoleh karena mereka telah mengalami proses belajar serta pergaulannya dengan para praktisi atau karena riset serta penelitian yang dilaksanakan. Dengan demikian, kuliah harus diartikan sebagai forum untuk mengkonfirmasikan pemahaman mahasiswa terhadap pengetahuan yang bebas tersebut.

Fakta yang tidak dapat dihindari adalah bahwa waktu kuliah (tatap muka) adalah sangat pendek dan terbatas. Di pihak lain, cukupan materi kedalaman pemahaman tidak dapat diberikan secara seketika dalam waktu pendek tersebut.
Masalahnya adalah, apakah yang harus dikerjakan dalam waktu yang sangat pendek dan terbatas tersebut ? Kalau kuliah diisi dengan kegiatan yang sebenarnya mahasiswa dapat melakukannya sendiri di luar jam temu kelas.
Maka kelas tersebut sama sekali tidak mempunyai nilai tambah. Tidak terjadi proses belajar yang sesungguhnya, yang terjadi adalah pengalihan catatan dosen ke catatan kuliah mahasiswa melalui proses "mesin dengar kopi", sebuah proses yang bahkan jauh lebih primitif dibandingkan dengan fotokopi.
Keefektifan temu kelas dalam menunjang proses belajar sangat bergantung pada pemahaman konsepsi dosen dan mahasiswa terhadap arti temu kelas. Kesenjangan pengertian dapat menimbulkan frustasi di kedua belah pihak.
Adakah fakta merupakan education culture di Indonesia? Sulit untuk mendeteksi mengapa ini sampai terjadi dan terus dilestarikan. Kemungkinan yang sangat logis adalah kurangnya kesiapan lembaga pendidikan, dosen dan mahasiswa untuk terus memberdayakan diri melalui bacaan, kuliah konvensional, sehingga terlihat tidak ada upaya dan usaha dalam self improvement.
Faktor lain terbatasnya sarana dan prasarana (buku, artikel, komputer) yang tersedia untuk bisa akses dalam pemberdayaan dan pengembangan diri. Situasi ini membuat kita berada pada disadvantaged position.
Untuk membenahi kesenjangan ini perlu bagi kita agar berlaku arif bahwa mahasiswa dan dosen mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Sudah saatnya sekarang kita bersama-sama mengartikan proses belajar merupakan kegiatan untuk memperkuat pemahaman mahasiswa terhadap materi pengetahuan sebagai hasil kegiatan belajar mendiri. Agar image dosen tukang sulap, mahasiswa yang telah terlanjur menjadi "mesin dengar kopi" dapat ditingkatkan menjadi proses belajar mandiri, komunikatif, dinamis dan inovatif.

Sarjana Dadakan, Profesionalkah?

Sebuah perguruan tinggi swasta menawarkan jenjang pendidikan S-1 dengan waktu studi hanya 1 tahun dengan biaya kurang dari Rp 10 juta.
Sertifikasi guru, sebuah kebijakan pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan para pendidik. Salah satu syarat utama untuk mendapat sertifikasi adalah, pendidik minimal mempunyai ijazah S-1. Sementara, saat ini masih banyak sekali guru yang hanya berijazah D-1, D-2, D-3, S-1 drop-out, bahkan ada yang hanya lulusan SMA. Mereka tentu tak ingin terganjal mendapatkan sertifikasi karena alasan jenjang pendidikan.
Merespons kebutuhan 'pasar', banyak perguruan tinggi ramai-ramai membuka program pendidikan S-1 transfer, kelas jarak jauh, atau ekstensi Sabtu-Minggu. Ada pula yang menawarkan program S-1 instan, satu tahun dijamin bisa mendapat gelar sarjana. Program ini, tentu saja, banyak diminati orang-orang yang tergiur mengejar sertifikasi.
Program sarjana instan ini, entah siapa yang berani menjamin kualitasnya. Karena idealnya, jenjang S-1 ditempuh dalam waktu empat tahun, dengan memperhitungkan banyaknya mata kuliah yang harus diambil, disertai kuliah praktik, magang, KKN, dan penyusunan skripsi.
Mari kita berpikir bijak, pendidikan merupakan wahana untuk mendapatkan pencerahan, baik ilmu, sikap, dan moral. Apalah artinya gelar tinggi tetapi tidak bermoral. Pendidikan bukanlah ajang bisnis, kalaupun akan dikomersialisasikan, hendaknya tetap sesuai aturan main, jangan menyimpang dari rel.
Gelar yang melekat di belakang atau di depan nama, merupakan tanggung jawab. Jika kita menyandang gelar sarjana x, tetapi tidak menguasai masalah x, apakah bisa disebut profesional?
Sertifikasi guru, jangan menjadikan kita salah langkah. Bila guru sudah salah langkah, bagaimana bisa mendidik para siswa? Siapa lagi yang jadi suri tauladan?
Instansi pemerintah ataupun penerima tenaga kerja harus benar-benar selektif dalam menyeleksi ijazah, antara sarjana dadakan dan sarjana murni yang ditempuh sesuai jalur, agar tidak terjadi kecemburuan sosial, atau bahkan pelecehan terhadap dunia pendidikan Indonesia.
Gelar adalah beban moral, bukan alat gagah-gagahan. Berani menyandang gelar, berarti harus mumpuni dengan kompetensi keilmuannya.

Pendidikan Tinggi Belanda Memberlakukan Kebijakan Jamin Siswa Asing

Pemerintah Belanda memberlakukan kebijakan baru di bidang pendidikan tinggi yang ditujukan untuk menjamin kualitas pendidikan tinggi di Belanda. Kebijakan baru yang disebut ”kode etik”, memberikan jaminan bagi siswa asing bahwa prosedur seleksi dan penerimaan telah memenuhi standar yang disyaratkan. Kode etik ini juga memberikan perlindungan dan jaminan kualitas bagi siswa asing, karena hanya universitas atau institusi yang telah menandatangani ”kode etik” yang diijinkan menerima siswa asing untuk studi di Belanda.
”Dengan kode etik ini, siswa asing termasuk siswa Indonesia akan memperoleh jaminan bahwa program yang dipilihnya telah memperoleh akreditasi dari pemerintah Belanda. Kode etik menuntut universitas untuk memberikan layanan terbaik bagi siswa asing dalam berbagai hal seperti standar akademis, kelengkapan informasi yang tersedia, petunjuk dan bimbingan yang benar, pengenalan budaya hingga persiapan keberangkatan. Perhatian khusus juga diberikan berkaitan dengan kedatangan pertama di Amsterdam, akomodasi dan hal-hal teknis seperti soal kedisiplinan, metode pengajaran dan penilaian yang berlaku selama masa studi,” demikian Ad de Leew, Direktur Netherlands Education Centre (NEC).
Fokus ”kode etik” pada pentingnya kualitas membuat pemerintah Belanda menjamin bahwa visa studi di Belanda hanya akan diberikan kepada siswa yang mendaftar di universitas yang telah menandatangani ”kode etik”. Daftar universitas yang telah menandatangani ”kode etik” dapat dilihat langsung oleh melalui website www.internationalstudy.nl. Universitas yang ada dalam daftar tersebut menawarkan program studi internasional yang telah terakreditasi. Komite nasional beranggotakan wakil-wakil dari organisasi pendidikan tinggi di Belanda telah dibentuk untuk mengawasi jalannya kebijakan atau kode etik ini.
Ad menambahkan,”Kode etik mengatur standar persyaratan minimum bagi semua siswa asing yang ingin studi di Belanda. Hal ini untuk memastikan agar setiap siswa dapat menyelesaikan studinya dengan baik. Persyaratan ini diantaranya adalah nilai kemampuan bahasa Inggris untuk calon siswa program S1 dan S2 adalah TOEFL 550 atau IELTS 6.”
”Kode etik” yang berlaku sejak bulan Mei 2006, merupakan hasil kerja sama antara Kementrian Pendidikan, Budaya dan Ilmu Pengetahuan dengan Kementrian Luar Negeri, Kementrian Kehakiman Belanda serta beberapa organisasi yang didanai oleh Kementrian Pendidikan, Budaya dan Ilmu Pengetahuan Belanda, termasuk NUFFIC di dalamnya.

Pendidikan Menengah Pulau Parang Tak Penuhi Standar

Pendidikan menengah di Desa Pulau Parang Kecamatan Karimunjawa jauh di bawah standar. Manajemen dan kualifikasi tenaga pengajar dinilai belum memadai.
Oleh karena itu, warga setempat berharap Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P & K) Kabupaten Jepara mengupayakan pembenahan.
Sekretaris Desa Parang Suyadi kepada Suara Merdeka mengatakan, masyarakat berharap besar para anak didik bisa mengenyam pendidikan menengah yang berkualitas. Namun harapan itu belum bisa terwujud hingga sekarang.
''Sampai saat ini, itu masih sebatas harapan. Memang ada kemajuan dalam beberapa tahun terakhir. Tapi kemajuan itu tak sebanding dengan harapan masyarakat,'' katanya.
Dia menjelaskan, kemajuan itu terlihat dalam dua tahun terakhir, di mana dinas terkait merealisasikan adanya SD satu atap. Para siswa yang telah lulus SD langsung bisa meneruskan sekolah ke pendidikan menengah.
Sebelumnya, para lulusan SD yang ingin meneruskan pendidikan ke jenjang pendidikan menengah, harus ke Desa karimunjawa. Dari Parang menuju Karimunjawa, mereka harus menempuh perjalanan laut menggunakan perahu mesin selama lebih kurang 2,5 jam. Tapi biasanya mereka memilih indekos di Karimunjawa.
Sejak dibangun SD satu atap, para lulusan SD, baik dari SD Parang 1, SD Parang II, dan SD Parang III (di Pulau Nyamuk) bisa menempuh pendidikan sembilan tahun di desa setempat. Jumlah siswa di pendidikan menengah pertama itu sebanyak 37 anak, terdiri atas 21 anak untuk kelas 7 dan 16 anak untuk kelas 8.
Tapi, lanjut Suyadi, pengelolaan SD satu atap itu kini mulai disorot masyarakat. ''Kalau memang itu pendidikan menengah, kenapa manajemen masih dari SD. Harapan kami itu dipisah dari SD dan jadikan SMP yang sesungguhnya. Sebab animo masyarakat disini memang seperti itu,'' lanjutnya.
Kualifikasi pengajar menjadi sorotan penting. Sebab pengajar di pendidikan menengah itu adalah berkualifikasi pengajar SD. Sebanyak sembilan guru SD semuanya mengajar di ''SMP'' itu. Hanya ada satu guru, yakni guru Bahasa Inggris'' yang memenuhi kualifikasi sebagai pengajar pendidikan menengah.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas P & K Jepara Drs Bambang Santoso MM, Selasa (22/8) mengatakan, SD satu atap di Parang memang diupayakan menjadi SMP yang sebenarnya. Selain SD Parang, yang akan diusulkan ke pusat adalah SD satu atap Desa Sukosono Kecamatan Kedung.
''Selama proses ini, kami juga mempersiapkan kepala sekolah dan tenaga pengajar yang sesuai standar, jika kelak benar-benar berdiri sendiri menjadi SMP. Ini memang butuh dukungan masyarakat setempat dan kemampuan pemerintah kabupaten,'' katanya.
Gagasan adanya SD satu atap merupakan jembatan untuk merintis berdirinya SMP, demi kemudahan akses peserta didik untuk bisa mengeyam pendidikan menengah. Pada 2006 ini Dinas P & K juga akan merealisasikan tiga SD satu atap di Kecamatan Batealit.

Mbleyer, Firdaus Dikeluarkan dari Sekolah

Muhammad Firdaus Ramadhan Arfandhi, siswa Kelas IX SMP Luqman Al Hakim Surabaya, dikeluarkan dari sekolah gara-gara mbleyer memainkan gas sepeda motor sehingga suara mesinnya meraung-raung, di halaman sekolah. Firdaus pun terancam tak bisa mengikuti ujian nasional (Unas), 27-29 April nanti.
Pihak sekolah menilai Firdaus melanggar tata-tertib (tatib) sebagai siswa. Apalagi, selain mbleyer sepeda motor, remaja usia 15 tahun itu juga dituduh mengancam membunuh salah satu pengasuh pondok pesantren (ponpes) di tempatnya belajar.
Sekolah Firdaus adalah sekolah integral di Jalan Kejawan Putih, Tambak VI/1, Surabaya, di bawah naungan Yayasan Pesantren Hidayatullah. Selain menyelenggarakan pendidikan formal taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi yayasan ini juga menyelenggarakan pendidikan non formal di ponpes sebagaimana ponpes salafiyah.
Adapun insiden Firdaus terjadi 7 Maret lalu namun berkepanjangan karena dipersoalkan orangtuanya. Ayah Firdaus, M Syafi’i Ruddy, pun melayangkan surat pengaduan ke Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya, dengan tembusan ke Wali Kota Bambang DH. Setelah pihak dinas pendidikan ikut turun tangan, SMP Luqman Al Hakim memutuskan Firdaus tetap akan bisa mengikuti Unas.
Ayah Firadus, Ruddy, ketika dikonfirmasi Surya, mengakui kasus Firdaus. “Anak saya sudah cerita semua kronologis peristiwa yang dialami,” ujarnya lewat ponsel.
Informasi yang dihimpun Surya, insiden 7 Maret lalu itu terjadi saat Firdaus ke ponpes naik sepeda motor. Karena waktu itu libur sekolah, setelah merampungkan keperluannya, Firdaus berniat pulang, dan enyalakan mesin sepeda motor.
Diduga akibat terkena guyuran air hujan, mesin motor tak dapat langsung menyala, dan baru dapat menyala setelah dicoba berkali-kali. Karena takut mesin mati lagi, maka Firdaus memainkan gas sehingga menimbulkan suara bising.
Suara bising ini memicu reaksi salah satu pengasuh ponpes, yang berteriak dan membentak Firdaus. Diduga, emosi Firdaus terpancing oleh teriakan dan bentakan si pengasuh ponpes yang juga senior Firdaus sehingga dia langsung memegang kerah bajunya. Puas melampiaskan emosi, Firdaus pergi.
Namun, beberapa jam kemudian dia kembali ke ponpes, mencari si pengasuh yang berstatus mahasiswa itu. Saat bertemu, dia mengancam. “Awas, jangan sampai bilang ke kepala sekolah. Nanti kamu tak habisi di luar.”
Si pengasuh diduga tak terima dengan sikap dan perilaku Firdaus, sehingga melapor kepada pihak sekolah. Berdasar laporan itu, pihak sekolah pun membahas kasus Firdaus, dan menyatakan sebagai pelanggaran berat sehingga Firdaus harus dikembalikan kepada orangtua alias dikeluarkan dari sekolah.
Kepada Surya, Ruddy menyatakan sangat menyesalkan tindakan sekolah yang selang tiga hari setelah kejadian langsung memutuskan mengeluarkan anaknya dari sekolah. Mestinya, kata Ruddy, sebelum mengembalikan kepada orang tua, pihak sekolah memberikan surat peringatan terlebih dulu kepada Firdaus, yang selama ini tinggal di ponpes.
“Dalam kasus anak saya kan tidak demikian. Surat peringatan satu, dua, dan tiga belum ada, tiba-tiba saya ditelepon pihak sekolah untuk mengambil anak saya,” protes Ruddy, yang 13 Maret melayangkan surat pengaduan ke dindik dan wali kota.
Pelanggaran Tatib
Di pihak lain, Kepala Sekolah SMP Luqman Al Hakim, Marni Mulyana, ketika dikonfirmasi, menolak memberi keterangan. “Silakan tanya langsung ke yayasan,” elaknya, ketika ditemui di kantor.
Secara terpisah, Ketua Yayasan Pesantren Hidayatullah, Miftahuddin, mengaku ada tindakan pelanggaran tatib oleh Firdaus. Tetapi Miftah membantah lembaganya mengembalikan Firdaus kepada orangtuanya atau mengeluarkan dari sekolah.
“Dia diputuskan dapat mengikuti Unas,” ujarnya, di sela-sela sertifikasi dosen PTAI Swasta Indonesia Timur di Hotel Utami Juanda.
Menurut Miftah, Firdaus diperbolehkan ikut Unas setelah pihaknya menimbang dan mempertimbangkan berbagai aspek. Antara lain, aspek internal lembaga, orangtua siswa, dan masukan pemerintah selaku penyelenggara pendidikan.
Informasi lain, Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya, Sahudi, sempat berang kepada pihak SMP Luqman Al Hakim Surabaya. Dia menilai, tindakan sekolah mengembalikan Firdaus ke orangtua tidak dapat dibenarkan karena siswa itu sudah masuk daftar nominatif tetap (DNT) peserta Unas 2009.
Kata Sahudi, meski tindakan yang dilakukan siswa dinilai salah dan melanggar tatib sekolah, pihak sekolah mestinya lebih mengutamakan pembinaaan dengan memberikan peringatan kepada orangtua siswa. Jadi, bukan langsung mengeluarkan.

Di Pontianak, Ratusan Pelajar SMA Ikuti Pendidikan Anti Korupsi

Ratusan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Pontianak, mengikuti pendidikan anti korupsi selama sehari di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak. Pendidikan yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut, bertujuan untuk membangun generari penerus bangasa yang anti korupsi sejak dini.
“Sasaran kita selain memberantas TPK (Tindak Pidana Korupsi) juga pencegahan TPK, yang dimulai sejak usia kanak-kanak,” kata Staf Fungsionaris KPK, Ryan H. Utama, saat memberikan materi pada ‘Seminar Sehari Pendidikan Anti Korupsi di Bangku Sekolah”, di Pontianak, Jumat (16/1).
Ia mengatakan, sukses tidaknya pemberantasan TPK di Indonesia tergantung kepada kemauan masyarakat sendiri untuk memberantas tindakan penyelewengan. “Mari kita bangun generasi penerus bangsa yang anti korupsi, mulai dari prilaku suka menyontek di kelas, karena prilaku tersebut bisa memupuk tindakan pelanggaran kecil ke besar,” katanya.
Ryan menambahkan, guna membangun generasi penerus yang anti korupsi tidak cukup hanya peran KPK dan instansi lain, tetapi dibutuhkan komitmen yang kuat dari pihak penyelenggara pendidikan, sekolah, lingkungan belajar dan lingkungan masyarakat.
Instansi pendidikan juga dituntut menyelenggarakan pendidikan secara transparan, sehingga memberikan contoh tauladan kepada anak didik mereka.
Ada sembilan dasar anti korupsi yang harus dibangun pada generasi penerus, yaitu jujur, disiplin, tanggung jawab, sederhana, kerja keras, mandiri, adil, peduli, dan berani. “Kalau sembilan dasar anti korupsi sudah tertanam dan dilakukan dalam perilaku anak didik. Insya Allah praktek KKN di Indonesia akan berkurang bahkan hilang,” ujarnya.
Sementa itu, Yuda, seorang peserta seminar dari SMAN 1 Sungai Raya, menyatakan terima kasih kepada pihak Panitia yaitu Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Pontianak, yang dengan susah payah mengadakan seminar anti korupsi tersebut untuk siswa dan siswi SMA di Pontianak.
“Setelah mengikuti seminar ini, kami jadi mengetahui prilaku menyimpang yang selama ini dinilai biasa-biasa saja bisa menjadi guru besar untuk praktek KKN di kemudian hari, seperti menyontek,” katanya.
Yuda meminta, KPK tidak hanya menangani kasus TPK yang ada di Jakarta, karena banyak kasus korupsi yang ada di Provinsi Kalimantan Barat, yang telah merugikan negara dibiarkan begitu saja.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Mochammad Jasin, ketika berkunjung ke Pontianak pertengahan Desember 2008, mengatakan sejak dibentuk hingga tahun 2008, pihaknya sudah menerima sebanyak 468 laporan atau sebesar 1,5 persen dari masyarakat Provinsi Kalbar, dari total 30 ribu laporan atas dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) seluruh Indonesia.
Posisi tingginya laporan untuk kasus Tipikor, Kalbar berada di bawah Provinsi Kalimantan Selatan, dengan jumlah laporan sebanyak 554 kasus.
“Tidak semua laporan dugaan Tipikor dari masyarakat langsung kita tindak lanjuti, melainkan dipilah-pilah lagi sesuai dengan kriteria dan tindakannya, sehingga antara KPK dan Kejaksaan bisa berkoordinasi siapa yang paling berkompeten menangani kasus korupsi tersebut,” katanya.
Ia menjelaskan, secara garis besar Tipikor yang dilaporkan tersebut, yaitu dugaan penyimpangan penggunaan APBD, penyimpangan pengadaan barang dan jasa, penyimpangan yang menyangkut bantuan sosial, pada dasarnya untuk kepentingan publik tetapi pada pelaksanaannya dipergunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
“Kita tidak punya target dalam penanganan kasus-kasus Tipikor, tetapi akan berupaya semaksimal mungkin dalam penanganannya, terutama untuk kasus Tipikor yang punya bukti cukup,”

Beli Soal Bocor, Awas Tertipu

Naskah soal Ujian Nasional (UNAS) untuk jenjang pendidikan SMA, SMA Luar Biasa, Madrasah Aliyah, dan SMK se-kota Malang, sesuai jadwal Selasa (14/4) kemarin sudah tiba dan langsung diamankan di aula Mapolresta Malang. Berbagai isu mengenai kemungkinan naskah tersebut bocor dan diperjual belikan, seperti biasa langsung berhembus di kalangan masyarakat.
Menanggapi isu dan wacana tersebut, Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Nasional Kota Malang, Sugiharto, meminta masyarakat jangan terburu-buru menafsirkan bahwa soal Unas selalu bisa bocor. Menurut Sugiharto, berbagai isu tersebut malah bisa menjadi senjata baru bagi pelaku penjahatan, khususnya dalam menciptakan modus penipuan.
”Seperti yang terjadi tahun lalu. Ada soal bocor, setelah kami sita, ternyata naskah tersebut bukan soal Unas. Melainkan kumpulan soal tahun-tahun sebelumnya, yang kopnya sudah diganti dengan tulisan unas tahun itu. Masyarakat lalu terkecoh,” ujar Sugiharto.
Selain hal tersebut, Sugiharto meyakinkan masyarakat, khususnya para pelajar, agar jangan tertipu bila menemukan fenomena tulisan kunci jawaban di kamar mandi sekolah penyelenggara Unas. ”Siapa saja, termasuk orang bodoh sekalipun, bisa kan membuat coretan ngawur tersebut,” ucapnya.
Sugiharto menjamin, selepas naskah soal tersebut keluar dari percetakan dan menuju Polresta Malang, tidak akan ada kemungkinan soal tersebut bocor. Parameternya, lanjut Sugiharto, adalah amplop yang masih tersegel.
Namun, Sugiharto tak mengelak, kemungkinan soal tersebut bocor saat di percetakan tetap ada. ”Namun, saya kira kemungkinan itu juga minim. Setahu saya, untuk menghindari pencurian soal, pegawai percetakan tidak diperbolehkan memakai pakaian tanpa saku. Mereka juga dilarang pakai alas kaki,” bebernya.
Selain urusan naskah soal yang dianggap sudah beres, uang subsidi dari pemerintah untuk tiap sekolah kemarin sudah cair dan diserahkan ke masing-masing sekolah. Uang dengan jumlah total mencapai Rp 741.165.000 tersebut, diserahkan oleh Dindik Kota Malang ke Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), lalu dibagikan ke tiap sekolah.
Untuk tiap siswa SMP dan sederajat, akan mendapat subsidi sebesar Rp 25.000. Sementara siswa SMA, mendapat subsidi Rp 30.000. Uang tersebut digunakan sekolah untuk pengadaan naskah soal, konsumsi pengawas dan panitia, serta uang transport selama digunakan untuk kepentingan unas.
”Logikanya, beberapa sekolah pasti ada yang masih kekurangan dengan subsidi itu. Tapi, perintah Diknas, tiap sekolah dilarang memungut uang untuk biaya unas ke setiap pelajar tanpa kecuali,” imbuhnya.
Diamankan
Sementara itu, soal-soal ujian Unas untuk wilayah Kota Malang kemarin tiba di Mapolresta Malang pada pukul 16.00 WIB, diantar truk oranye milik PT Pos Indonesia yang pintu bagian belakangnya ditempeli segel bertuliskan DOKUMEN NEGARA.
Ratusan kardus berisi soal ujian tersebut, kemudian di masukkan ke ruang aula yang terletak di bagian belakang Mapolresta Malang.
Setelah dilakukan pengecekan jumlah kardus yang diterima yang dicocokan dengan berita acara penyerahan, aula kemudian di kunci dan hanya akan dibuka saat Unas dilangsungkan yakni tanggal 20 April.
Kepala Bagian Bina Mitra Polresta Malang, Kompol Suhartini Eko memastikan seluruh kardus berisi soal-soal untuk UNAS di wilayah Malang akan tetap steril alias aman dari pencurian karena akan dijaga selama 24 jam penuh hingga hari pendistribusian.
“Akan ada satu anggota yang berjaga disamping satu petugas dari Departemen Pendidikan, selain itu akan ada satu anggota berpangkat perwira yang akan mengawasi,” kata Suhartini.
Untuk pendistribusian soal ke sekolah-sekolah, akan dilakukan mulai pukul 05.00 WIB mulai 20 April hingga 25 April yang akan diambil langsung oleh Kepala Sub Rayon. Proses pendistribusian ke sekolah-sekolah atau tempat pelaksanaa Unas akan selalu mendapatkan pengawalan dari polisi.
Suhartini menambahkan, polisi juga akan dilibatkan dalam proses pengumpulan lembar jawaban komputer dari pada siswa. “Setelah ujian, LJK yang dikumpulkan di Diknas juga bakan dikawal oleh Polsisi, termasuk untuk mengirim LJK tersebut untuk di scan dimana untuk wilayah Malang akan dilakukan di Universitas Airlangga Surabaya,” kata Suhartini. k3/why

UN SMA Diintegrasikan dengan Seleksi Masuk PTN

Penggunaan ujian nasional SMA/SMK/MA tahun 2009 sebagai salah satu pertimbangan masuk ke jenjang perguruan tinggi negeri mulai dicoba. Selain melibatkan perguruan tinggi negeri dalam pelaksanaan ujian nasional di jenjang pendidikan menengah, nantinya materi soal yang sudah ada di ujian nasional tidak diulang lagi dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri.
Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas di Jakarta, Senin (13/4), menjelaskan pengakuan terhadap hasil ujian nasional (UN) SMA sederajat oleh perguruan tinggi itu diharapkan sudah bisa berjalan secara baik pada 2012 atau tujuh tahun setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Di dalam aturan itu disebutkan UN merupakan salah satu pertimbangan untuk masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.
Menurut Fasli, integrasi UN SMA sederajat yang dimulai dengan seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN) itu dimulai dengan melibatkan PTN dalam pelaksanaan UN yang selama ini dilaksanakan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan pemerintah daerah. PTN ikut memberikan masukan untuk meningkatkan kualitas soal-soal UN SMA sederajat.
Selain itu, PTN juga ikut dalam mengawasi pelaksanaan, pendistribusian soal-soal ke daerah, penilaian, hingga pengumuman. Langkah tersebut untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan UN SMA sederajat sehingga hasilnya tidak lagi diragukan PTN.
"Sudah disepakati apa yang diujikan di UN SMA tidak diuji lagi dalam Seleksi Nasional Masuk PTN. Ujian SNMPTN lebih untuk melihat potensi akademik calon mahasiswa," kata Fasli.
Adapun soal pembobotan nilai UN SMA sederajat dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru di PTN, kata Fasli, masih belum diputuskan. Para rektor PTN sedang mengevaluasi mengenai pengakuan hasil UN untuk seleksi masuk di masing-masing PTN.
Jika hasil UN SMA sederajat sudah diakui kredibilitas dan kualitasnya, kata Fasli, bisa saja PTN menetapkan nilai batas minimal untuk calon mahasiswa yang bisa mendaftar pada ujian masuk di setiap kampus. Dengan demikian, seleksi awal sudah terjadi dari hasil UN sesuai yang diminta PTN.
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo di sela-sela acara peresmian gedung di lingkungan Universitas Terbuka di Tangerang, mengatakan mengintegrasikan UN SMA sederajat dengan seleksi masuk PTN nantinya akan lebih mudah dan murah. "Bisa saja nanti juga dipakai untuk seleksi masuk di perguruan tinggi swasta," kata Bambang.
Gumilar R Somantri, Rektor Universitas Indonesia, mengatakan integrasi UN dengan seleksi masuk merupakan gagasan dan terobosan yang baik. Tetapi tetap perlu kajian yang mendalam untuk bisa menyatukan kepentingan sekolah dan perguruan tinggi.
Bagi UI yang didorong untuk menjadi world class university, kata Gulilar, memilih calon mahasiswa berkualitas dan bepotensi akademik cemerlang, merupakan syarat penting. Dalam ujian mandiri yang dilaksanakan UI seperti SIMAK UI, bobot soal dibuat melampaui UN.

Sekolah Gratis Rawan Korupsi

Bantuan operasional sekolah (BOS), yang bertujuan agar pendidikan tingkat dasar dan menengah menjadi gratis, diduga rawan tindakan korupsi.
Ketua Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan bahkan menyatakan,korupsi aliran dana BOS diduga melibatkan kepala sekolah dan pejabat di dinas yang membidangi pendidikan.Menurut dia,korupsi di lembaga pendidikan ini sudah berlangsung secara sistematis dan bersama-sama. Ada dua modus dalam korupsi ini,berupa pemerasan dan setoran. “Pemerasan dilakukan oleh pejabat dinas dan kepada sekolah.
Pihak sekolah tidak bisa berbuat banyak untuk melawan pemerasan ini.Jika sekolah tidak memberikan uang, akses untuk mendapatkan proyek berikutnya akan ditutup,” ujar Ade dalam diskusi “Upaya Melawan Korupsi dalam Program Pendidikan Gratis” di Jakarta kemarin. Adapun modus setoran terjadi jika pihak sekolah, atas inisiatif sendiri, memberikan uang kepada pejabat dinas sebagai pelicin.
“Uang pelicin ini juga berperan untuk memperkuat posisi sekolah di mata pejabat dinas,”bebernya. Uang tersebut diambilkan dari dana BOS dengan cara memotong dana siswa antara Rp3.000 hingga Rp5.000 per siswa. Seharusnya dana BOS dipakai agar sekolah tidak lagi menarik biaya kepada orang tua murid. BOS telah digulirkan pemerintah sejak 2005 dan di 2009 ini pemerintah memberikan BOS Rp397.000 per siswa SD per tahun, sedangkan siswa SMP mendapatkan Rp570.000 per tahun. Program ini diberikan kepada semua siswa,baik di sekolah negeri maupun swasta, kecuali sekolah internasional.
Depdiknas pada 2009 ini menegaskan bahwa mulai tahun ini SD dan SMP tanpa pungutan lain.Tetap saja,Ade mengkritik realisasi program sekolah gratis ini.Alasannya,kendati telah ada BOS sejak 2006, jumlah pungutan kepada orang tua siswa justru makin bertambah. (rendra hanggara/ant)

Tidak Gratis, Kena Sanksi

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Soedibyo menyatakan, bupati berhak memberikan sanksi bagi sekolah yang tidak memberikan pendidikan dasar (dikdas) secara gratis.
"Sanksi bagi sekolah yang tidak memberikan pendidikan gratis tergantung pada Bupati," kata Mendiknas kepada wartawan seusai Sosialisasi Wajar Dikdas Gratis 9 Tahun dan PP No 74 Tahun 2008 Tentang Guru, di Pendapa Sipanji Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Menurut dia, sanksi tersebut harus jelas dan dipertegas dengan peraturan daerah (perda) dikdas gratis yang dibuat masing-masing kabupaten/kota.
Disinggung mengenai masih banyaknya daerah yang belum membuat perda dikdas gratis, dia mengatakan, tanpa perda sebenarnya pendidikan gratis sudah berjalan dan dilaksanakan kepala sekolah. "Tetapi dengan perda, akan jelas mana yang boleh dan mana yang tidak," katanya.
Dengan demikian, keberadaan perda menjadi dasar aturan yang jelas kalau ada sekolah yang dikenai sanksi atau diproses oleh inspektorat jenderal atau diperiksa polisi.
Sebelumnya, saat menghadiri acara yang sama di Pendapa Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah,, Mendiknas mengatakan, pemerintah kabupaten/kota harus mempertegas peraturan daerah (perda) yang mengatur pendidikan dasar (dikdas) gratis. "Perda dikdas gratis yang dibuat pemerintah kabupaten/kota harus dipertegas," katanya.
Menurut dia, dalam perda tersebut harus dipertegas pula tentang pengelolaan dana operasional sekolah (BOS) termasuk sanksi bagi sekolah yang melanggarnya.
Ia mengatakan, perda pendidikan gratis di setiap kabupaten berbeda dengan daerah lain karena disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah.
"Pendidikan gratis bukan berarti semuanya dibebankan pada BOS karena dana BOS hanya sebatas pada biaya pendidikan," katanya.

Cukup 3 Pelajaran di Sekolah Dasar

Idealnya siswa Sekolah Dasar (SD) cukup hanya diberikan tiga mata pelajaran, sebab semakin banyak mata pelajaran yang diberikan hanya akan menambah beban dan membuat mereka bingung.
Pengamat Pendidikan Universitas Sumatera Utara (USU), Zulnaidi, di Medan, Sabtu (15/11), mengatakan, yang sangat dibutuhkan bagi anak didik ditingkat SD sebenarnya hanyalah tiga prinsip dasar pendidikan yakni pintar berhitung, pintar membaca, dan menulis. Dengan pintar membaca, apapun ilmu yang ingin diketahui bisa didapat dan jika memiliki pemikiran cemerlang siswa bisa menuangkannya dalam tulisan.
"Jadi di SD secara esensinya mata pelajaran itu tidak usah terlalu banyak agar siswa didik tidak menjadi stres dan kreativitasnya bisa lebih berkembang," katanya.
Selama ini pendidikan di Indonesia juga belum bisa mencapai tujuan seperti yang tercantum dalam UU tujuan pendidikan nasional. Pendidikan yang bermutu adalah yang mampu membawa sumber daya manusia kearah yang lebih unggul.
Sesuai undang-undang, pendidikan itu harus mampu mengantarkan para siswa menjadi warga negara yang memiliki kepedulian dan kesadaran terhadap kemajuan bangsa, sehingga acuan kesuksesan pendidikan tidak hanya diukur dengan mampu menghasilkan uang banyak dan menjadi kaya.
Kalau pendidikan hanya sebatas mampu menghasilkan uang, itu merupakan karakter pendidikan yang paling jelek dan sebaiknya para pelaku pendidikan harus berusaha mengubah orientasi pendidikan yang sudah terlanjur salah selama ini.
"Bukan negara yang kaya yang bisa menjamin pendidikan bermutu, tapi pendidikan bermutu yang bisa menjadikan sebuah negara menjadi kaya. Jadi saat ini adalah bagaimana caranya kita semua termasuk pemerintah bisa mengendalikan pendidikan kearah yang lebih baik lagi," katanya.

Minim, Perpustakaan di Tingkat Pendidikan Dasar

Fasilitas perpustakaan sebagai salah satu sarana dan prasarana di sekolah yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan masih rendah. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan, baik soal ruangan perpustakaan maupun koleksi buku-buku yang tersedia, justru terjadi di tingkat pendidikan dasar.
Dari data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan penambahan ruang perpustakaan di sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan dasar sekitar 10 persen.
Yanti Sriyulianti, Koordinator Education Forum, di Jakarta, Selasa (13/1), mengatakan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai standar nasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat bisa menuntut pemerintah pusat dan daerah jika terjadi kesenjangan mutu pendidikan akibat sarana dan prasarana yang timpang di antara perkotaan dan pedesaan atau di antara sekolah-sekolah yang ada.
Perpustakaan yang merupakan salah satu tempat untuk siswa dan guru mencari sumber belajar belum dianggap penting. Keberadaan perpustakaan hanya sekadar memenuhi syarat tanpa memperhatikan bagaimana seharusnya fasilitas perpustakaan disediakan dan bagaimana menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa dan guru untuk menumbuhkan minat baca.
Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan, mengatakan pendidikan dasar di Indonesia yang diamanatkan konstitusi untuk menjadi prioritas pemerintah masih berlangsung ala kadarnya. Pemerintah masih berorientasi pada menegejar angka statistik soal jumlah anak usia wajib belajar yang bersekolah, sedangkan mutu pendidikan dasar masih minim.
Padahal, soal sarana dan prasarana pendidikan di setiap sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang standar nasional sarana dan prasarana. Peraturan ini memberi arah soal keberadaan perpustakaan di setiap sekolah.

Eropa Bantu Pendidikan Dasar di Indonesia

- Indonesia mendapatkan dana hibah untuk pengembangan Program Kapasitas Pendidikan Dasar atau Basic Education Capacity -Trust Fund (BEC-TF) dari Pemerintah Belanda dan Komisi Eropa. Dana hibah ini untuk jenis hibah peningkatan kapasitas meliputi 50 kabupaten/kota, hibah program rintisan meliputi 6 kabupaten dan 30 sekolah, serta hibah program pusat pembelajaran yang berhasil bagi 6 institusi pendidikan.
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto dalam acara sosialisasi dan workshop seleksi kabupaten kota calon penerima program Tahun 2008-2009, di Jakarta, Kamis (24/7), mengatakan pada tahap pertama dana hibah dari Pemerintah Belanda dan Komisi Eropa mencapai 51 juta dolar AS atau sekitar Rp 459 miliar. Dari nilai tersebut, 33 juta dolar AS dikelola pemerintah Indonesia dan 18 juta AS dikelola Bank Dunia.
Program BEC-TF ini lebih ditujukan bagi upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah agar dapat meningkatkan peran dan tanggung jawabnya dalam konteks desentralisasi. Kapasitas yang dikembangkan antara lain mencakup penguatan perencanaa, manajemen keuangan, manajemen sumber daya manusia serta sistem monitoring dan evaluasi.