Minggu, 15 Maret 2009

Sistem Seleksi, Kelembagaan, dan Keadilan Pendidikan

Pada Juni dan Juli 2008 ini, perguruan tingggi negeri (PTN) dan sekolah menengah negeri (SMN) di Tanah Air melaksanakan kegiatan seleksi (maha)siswa baru. Pengalaman tahun-tahun sebelumnya, rasio antara jumlah pelamar dan bangku yang tersedia mencapai 4:1 pada SMN. Sedangkan PTN, dari 390.000 kandidat yang saat ini mengikuti seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNM-PTN), hanya 81.000 yang mungkin dapat ditampung. Artinya, hampir 2/3 siswa usia sekolah menengah yang saat ini memperebutkan bangku SMN akan tersisih, sedangkan PTN akan menolak kandidat mahasiswa lebih besar lagi. Secara umum persyaratan bagi kandidat untuk dapat diterima pada lembaga pendidikan di muka tahun ini relatif sama dengan tahun sebelumnya, yaitu kandidat harus lulus ujian tulis untuk PTN dan dengan menunjukkan hasil/skor kumulatif ujian nasional (UN) untuk kandidat siswa SMN. Bagi SMN, prosedurnya sebagai berikut, nilai/skor kumulatif UN setiap kandidat akan diurutkan dari yang tertinggi ke terendah. Keberhasilan kandidat siswa akan ditentukan oleh seberapa besar kursi yang tersedia pada setiap sekolah menengah negeri yang dilamar. Acuan yang digunakan bersifat normatif (norm-referenced measurement), bukan kriteria (criterion-referenced measurement). Belakangan sempat diberitakan pengelola PTN berselisih perihal mekanisme seleksi PTN. Perselisihan itu ternyata tidak menyentuh persoalan substantif. Sebaliknya yang diperdebatkan hanya sebatas masalah keuangan dan administrasi ujian. Sedangkan sistem, kelembagaan, materi ujian, dan informasi akademik pendukung lainnya belum dibahas sama sekali. Padahal sistem, kelembagaan, dan perbaikan kualitas termasuk materi seleksi seharusnya menjadi perhatian utama pengelola PTN dan Depdiknas apabila PTN akan diarahkan menjadi the agent of change, yang mampu mendorong perbaikan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat, meningkatkan daya saing global, serta mendorong terwujudnya lembaga riset unggulan di negara tercinta ini. Memprihatinkan, meskipun bangsa ini sudah merdeka lebih dari 60 tahun, seleksi PTN masih dikelola secara darurat (ad hoc) dalam bentuk kepanitiaan. Negara yang dalam konstitusinya dengan sangat tegas menyebutkan akan memajukan kesejahteraan umum dan bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi pengelolaan penilaian yang merupakan komponen terpenting dalam sistem pendidikan nasional masih bersifat kepanitiaan. Akibatnya secara sistem, kesahihan dan keadilan hasil ujian sulit untuk ditelusuri, diteliti, dikaji, dan dikembangkan. Hampir semua pengelola PTN termasuk Depdiknas menganggap kelembagaan dan materi ujian yang digunakan selama ini taken for granted sudah baik, sedangkan fokus perhatian sebatas mekanisme bagi-bagi rezeki. Pembangunan materialisme selama empat dekade ini ternyata bukan hanya menggerus dan menumpulkan nurani politisi, birokrasi, dan sebagian masyarakat. Lebih dari itu, sikap hidup 'instan' dan kebendaan itu juga sudah melanda sebagian pengelola PTN dan sudah berhasil melumpuhkan daya kritis, inovasi, dan kepekaan sosial yang seharusnya menjadi keunggulan kelompok komunitas akademis ini. Sejak tahun 80-an, yaitu saat diperkenalkannya model seleksi PMDK oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk memecahkan persoalan keadilan dan akses terhadap pendidikan bermutu pada jenjang pendidikan tinggi, Depdiknas selebihnya hanya terperangkap rutinitas. Sejak 1990-an hampir tidak muncul lagi kajian dan riset serius tentang sistem, kelembagaan, dan substansi seleksi PTN. Kegiatan seleksi mahasiswa baru PTN setiap tahunnya hampir selalu ramai dan menciptakan 'kepanikan' pada banyak orang tua/masyarakat. Ritual ini selalu melibatkan banyak pihak termasuk sumber daya PTN dan guru sekolah menengah. Padahal apabila Depdiknas sudah memiliki sistem penilaian nasional dan lembaga penilaian mandiri (examination authority) dan permanen, proses seleksi dapat berlangsung biasa, tertata, dan terukur. Amerika Serikat memiliki Educational Testing Service (ETS) dan American College Testing (ACT) yang memberikan pelayanan ujian masuk perguruan tinggi bagi lulusan SMA yang administrasinya dimungkinkan pada saat kandidat masih duduk pada semester ke-5/6 di SMA. Ujiannya dapat dilaksanakan sebanyak dua kali dalam satu tahun. Artinya siswa yang belum memperoleh hasil/skor yang sesuai kriteria PT yang dilamar pada ujian pertama masih dimungkinkan untuk memperbaikinya pada ujian tahapan kedua. Perguruan tinggi tidak perlu terlibat langsung pada pelaksanaan dan pengolahan hasil ujian karena tugas itu merupakan tanggung jawab 'examination authority'. Namun perguruan tinggi boleh memiliki komite penerimaan mahasiswa baru (admission committee) yang memiliki otoritas untuk membuat penilaian dan keputusan terhadap seluruh informasi akademik kandidat yang masuk dan terdiri dari antara lain hasil/skor tes tertulis, referensi guru, nilai rapor, portofolio, dan project works. Komite penerimaan sedikitnya memerlukan waktu dua bulan untuk memutuskan apakah seorang kandidat dapat diterima pada perguruan tinggi bersangkutan. Dengan proses seleksi semacam itu, kita segera dapat menilai kualitas keputusan yang dihasilkan. Bandingkan dengan kualitas kandidat yang mungkin diperoleh PTN di negara ini yang hanya mengandalkan ujian tulis sekali (one sitting exam) dengan waktu kurang dari 4 jam, tanpa menggunakan informasi akademik kandidat lainnya. Apabila proses seleksi PTN dilakukan secara lebih komprehensif dan berimbang sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju, hasilnya pasti akan sangat berbeda. Proses pembelajaran dan kegiatan akademik di PTN akan menjadi semakin bermutu, 'viable', inspiratif, dan menyenangkan. Bukanlah sesuatu yang harus diratapi apabila posisi PTN di Indonesia selalu berada pada peringkat ratusan menurut penilaian lembaga pemeringkat dunia. Menurut hemat penulis, Depdiknas/PTN belum memiliki sistem seleksi yang 'rigorous', padahal sistem seleksi itu termasuk kriteria utama yang digunakan lembaga pemeringkat dunia. PTN masih terlalu disibukkan dengan pekerjaan yang bukan merupakan domainnya. Kegiatan seleksi seharusnya dilakukan para ahli penilaian (test specialists) yang didukung ahli kurikulum, ahli belajar (learning theorists), bidang studi (subject specialists), cognitive psychology, kebijakan pendidikan (educational policy), dan dilaksanakan lembaga penilaian mandiri agar pertanggungjawabannya lebih jelas dan terukur. Pendidikan menengah kita juga menghadapi kebuntuan serupa. Sistem seleksi siswa baru SMN di banyak tempat hanya mengandalkan hasil/skor ujian nasional (UN). Sebagaimana dirumuskan Depdiknas, UN juga berfungsi sebagai alat seleksi pada jenjang pendidikan berikutnya. Rumusan UN dapat berfungsi sebagai alat seleksi membuat makna seleksi menjadi rancu (misleading). UN sebagai alat penilaian prestasi belajar seharusnya berfungsi memotret hasil sebuah proses pembelajaran. Sebaliknya UN sebagai alat seleksi seharusnya bersifat prediktif untuk menjelaskan kemungkinan kesuksesan kandidat pada jenjang pendidikan berikutnya/lebih tinggi. Kebijakan penggunaan hasil UN untuk keperluan seleksi itu juga terkesan simplistis dan 'make thing easy' sehingga kontraproduktif terhadap pengembangan sistem penilaian pendidikan di Tanah Air. Padahal sistem penilaian yang andal akan dapat membantu memecahkan persoalan akses, mutu, dan keadilan pendidikan. Berbagai pertimbangan praktis, finansial, dan transparansi selalu dikemukakan, namun dampak kebijakan tersebut terhadap prinsip-prinsip pengukuran pendidikan belum dikaji secara serius termasuk kelayakan (adequacy), kebenaran prosedur, dan prinsip keadilan (test fairness). Apabila konsisten dengan amanat konstitusi, pemerintah seharusnya tidak perlu membuang energi untuk melakukan kegiatan seleksi. Berilah perhatian lebih sungguh-sungguh dan mendalam pada proses pembelajaran di kelas/sekolah. Namun, apabila kegiatan seleksi harus dilakukan mengingat besarnya permintaan, proses seleksi itu hendaknya dilakukan secara komprehensif, yaitu dengan melihat dan mempertimbangkan seluruh informasi akademik tentang kandidat pada jenjang pendidikan sebelumnya termasuk buku rapor, rekomendasi guru, karya akademik dan nonakademik, karangan panjang (long essay), dan kondisi sosio-ekonomis. Pekerjaan seleksi itu haruslah dilakukan komite penerimaan yang dibentuk Dinas Pendidikan. Komite harus bekerja secara profesional, independen, memahami prinsip-prinsip pengukuran pendidikan, kebijakan publik, teori belajar, dan 'cognitive studies'. Karena, pada tahapan akhir, keputusan kelulusan dalam setiap proses seleksi bukan hanya ditentukan dan didasarkan pada informasi akademik dan pertimbangan psikometri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar